Selasa, 28 Juli 2009

PENURUNAN HIV-AIDS DAN PERDA

Di tengah kontroversi mengenai Perda Larangan Pelacuran (No 5/2007) yang dikeluarkan pemerintah Bantul, Tim Dinas Kesehatan Bantul mengemukakan hasil survei yang menarik untuk didiskusikan : Berkat keberhasilan Kabupaten Bantul dalam mengimplementasikan Perda No 5 / 2007, angka pengidap HIV-AIDS di Bantul menurun dari tahun sebelumnya. Menurut survey Dinkes tahun 2006 terhadap 378 sampel ditemukan 12 kasus penderita HIV, sementara pada tahun 2007 dengan menggunakan sample yang lebih besar,403, hanya ditemukan 4 kasus penderita HIV. (KR,5/2/2008).
Menyangkut angka penurunan itu sendiri, kita tentu harus bergembira apabila hasil survei itu menggambarkan realitas yang sesungguhnya. Karena kita sedang berada dalam situasi yang ironis dalam hal perkembangan penanganan HIV-AIDS. Ditingkat global, saat ini ada perkembangan positif tingkat prevalensi kasus HIV-AIDS berhasil ditekan dan tetap dikisaran 33,2 juta, sementara jumlah penderita HIV-AIDS baru menurun. Penurunan ini diyakini sebagai hasil dari usaha yang masif terhadap kontrol penyebaran HIV-AIDS (Jakarta Post, 26/1/2008). Ironisnya, kasus HIV-AIDS di Indonesia sendiri semakin meningkat. Secara kumulatif hingga September 2007, penderita AIDS di Indonesia berjumlah 10.384 kasus, sedangkan penderita dalam stadium HIV yang belum mempunyai gejala mencapai 6.000 kasus. Kita tahu bahwa fenomena ini sudah menyebar di seluruh propinsi Indonesia. Tidak ada propinsi di Indonesia yang bebas dari HIV-AIDS. Dengan kata lain, penyebaran HIV-AIDS di Indonesia akhir-akhir semakin meluas dan tidak terkendali.
Tetapi, kalaupun angka penurunan itu valid, kita harus berhati-hati untuk tidak terlalu tergesa-gesa menariknya sebagai hasil dari Perda yang hingga sekarang masih di perdebatkan. Masalahnya, menarik kesimpulan yang tergesa-gesa bisa berpotensi membawa kepada kebijakan kesehatan yang salah, dan bisa berakibat buruk pada program akselarasi pencegahan HIV-AIDS yang sedang ingin digalakkan. Pertanyaan elementer yang mungkin segera muncul adalah, pertama, apakah waktu beberapa bulan ini sudah memadai untuk mengukur keberhasilan sebuah kebijakan. Kedua, sejauhmana sampel yang diambil sudah cukup representatif untuk memperoleh gambaran yang akurat mengenai penurunan angka tersebut. Ketiga, bagaimana menjelaskan hubungan kausal antara Perda dan penurunan angka penderita HIV.

Perda No 5/2007
Tulisan ini ingin urun rembug mengenai hal itu. Dengan mengandaikan angka itu valid, penulis tetap berada dalam posisi yang sangat skeptis mengenai hubungan kausal antara penurunan HIV dengan Perda Larangan Pelacuran. Terlebih dahulu, kita perlu melihat apa substansi dari perda tersebut. Apakah sebenarnya yang mau diatur ? Adakah Perda tersebut mengandung pasal-pasal yang mengatur pencegahan penularan HIV-AIDS ?
Sebagaimana dikatakan di atas, Perda No 5/2007 itu sendiri kontroversial dan mendapat reaksi negatif dari sebagian masyarakat, terutama masyarakat yang kehidupan sosial dan ekonominya tergangu karena implementasinya yang ceroboh. Di wilayah Yogya sudah terbentuk Aliansi Tolak Perda Larangan Pelacuran yang didukung berbagai NGO dan masyarakat Bantul. Saat ini Perda tersebut sedang menjalani proses judicial review di Mahkamah Agung. Dari kacamata hukum, Perda no.5/2007 mengandung kelemahan dan bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM, serta mengabaikan prinsip keadilan bagi warganya. Dalam implementasinya, Perda ini juga telah memakan korban yang tidak berdosa karena dilaksanakan secara kekerasan dan telah melanggar asas praduga tak bersalah.
Dalam kaitannya dengan masalah HIV-AIDS, Perda tersebut tidak memuat pasal yang menyangkut pencegahan penularan HIV-AIDS. Dari seluruh 11 pasalnya, tidak ada satu katapun menyebut soal pencegahan penularan HIV-AIDS. Perda lebih menekankan hanya pada pelarangan pelacuran, tanpa memuat solusi atas masalah-masalah struktural yang mendorong kepada munculnya aktivitas pelacuran. Perda ini mengandung pasal-pasal represif dalam menangani masalah pelacuran. Pada sisi lain, pasal-pasal yang sifatnya persuasif, dan rehabilitasi sebagai acuan penanganan masalah pelacuran tidak muncul di dalamnya.
Pendekatannya sangat moralistik, sehingga menurut saya, Perda ini tidak bisa dikatakan memiliki kemampuan memecahkan permasalahan kesehatan pada pelacuran. Perda ini terjebak pada ideologi dominan dalam memandang pelacuran. Perda memandang pelacuran adalah kotor, maksiat, dan asusila sehingga pelacuran harus dibasmi, tanpa melihat penyebab munculnya pelacuran itu sendiri. Padahal, pada banyak kasus, pelacuran adalah konsekuensi dan cerminan dari desakan ekonomi rumah tangga yang miskin.
Perda semestinya memuat klausul kategorisasi pihak-pihak yang ada dalam pelacuran. Yaitu, perempuan yang dilacurkan, perempuan korban trafficking, dan pelacur profesional yang lebih mengedepankan aspirasi material. Kategorisasi ini dapat dijadikan tolak ukur dalam penanganan masalah pelacuran. Maka, agak janggal pelarangan pelacuran hanya dibatasi pada pembasmian tanpa memikirkan pencegahan, penanganan, dan rehabilitasi bagi mereka yang terlibat didalam aktivitas pelacuran.
Kesan yang muncul dari upaya implementasi perda ini adalah pemerintah sangat agresif dalam melarang kegiatan pelacuran. Akan tetapi, gampang dilihat bahwa realitas menunjukkan pelacuran tidak bisa langsung lenyap di Bantul. Sebaliknya, pelacuran tetap berlangsung dengan sembunyi-sembunyi. Kita tidak bisa menutup mata bahwa realitas pelacuran sangat mungkin dekat di sekitar kita. Transaksi maupun aktivitas pelacuran bisa terjadi di mana saja, di mall, hotel, wisma, kafe, pasar, kos-kosan, rumah tetangga atau rumah kita.
Berdasarkan pengalaman lebih mudah membayangkan bahwa Perda ini akan menghambat upaya pencegahan penyebaran HIV-AIDS. Adanya praktek sembunyi-sembunyi akan mempersulit petugas kesehatan dalam melakukan penyuluhan tentang kesehatan dan kontrol terhadap kesehatan mereka. Sosialisasi soal pencegahan HIV-AIDS kepada kelompok resiko tinggi akan menjadi lebih susah dilakukan. Berdasarkan atas pengalaman, banyak lembaga swadaya masyarakat merasa kesulitan ketika sosialisasi HIV-AIDS di lokalisasi, karena masih melekatnya stigma dan diskriminasi terhadap mereka yang mengidap HIV-AIDS . Jika dalam lokalisasi saja masih sulit untuk mensosialisasi pencegahan HIV-AIDS, di luar lokalisasi akan menjadi semakin sulit mengidentifikasi kelompok resiko tinggi. Hal ini akan mendorong penyebaran HIV-AIDS tak terkendali.
Sosialisasi HIV-AIDS ini sangat penting untuk memudahkan penyadaran mereka untuk melakukan VCT (Voluntary Checking and Testing). Pengalaman di Thailand, Kamboja, dan Myanmar menunjukkan sosialisasi dan penyuluhan tentang seks aman di kalangan PSK (pekerja seks komersial) berpengaruh pada menurunnya penyebaran HIV.

HIV-AIDS di Yogya dan Tugas Kita
Kita sangat berharap kepada pemerintah untuk memiliki politik kesehatan dalam pencegahan dan penanggulangan HIV-AIDS. Mengingat di Indonesia penyebaran HIV-AIDS semakin meluas dan tidak terkendali. Dan sekali lagi, fenomena ini sudah menyebar di seluruh propinsi Indonesia, dan tidak ada propinsi di Indonesia yang bebas dari HIV-AIDS. Menurut Dinas Kesehatan DIY pada tahun 2002 hingga Oktober 2007, penderita HIV-AIDS berjumlah 398. Perlu disadari bahwa jumlah penderita HIV-AIDS merupakan fenomena gunung es. Secara riil penderita HIV-AIDS belum terdata secara keseluruhan. Selama ini data HIV-AIDS masih banyak didapat dari kelompok resiko tinggi dan bagi mereka yang sadar memeriksakan dirinya. Meski pemerintah DIY memberikan layanan bagi masyarakat yang hendak memeriksakan diri melalui VCT di sejumlah rumah sakit terpilih yang ada di propinsi Yogyakarta. Akan tetapi, sebagaimana diakui oleh Dinkes sendiri kesadaran untuk melakukan test HIV masih rendah di masyarakat Yogyakarta, karena terkait dengan stigma dan diskriminasi yang melekat pada penderita HIV-AIDS. Yakni, HIV-AIDS adalah penyakit kutukan bagi baik para pekerja seks maupun perilaku seksual menyimpang. Stigma dan diskriminasi terhadap penderita HIV-AIDS ini menimbulkan ketakutan akan konsekuensi negatif yang ditimbulkan, sehingga banyak orang menghindari tes HIV-AIDS.
Kondisi penyebaran HIV-AIDS di Yogyakarta sebenarnya sangat memperihatinkan, mengingat penderita HIV-AIDS tidak hanya dari kelompok pekerja seks saja, dan lebih dari 80 persen penderita berada dalam usia produktif . Hal ini terkait dengan perilaku seksual di usia pra-nikah dan pemakaian obat-obatan terlarang bagi pengguna injecting drug user (IDU) atau narkoba dengan jarum suntik yang menempati peringkat kedua terbanyak di DIY (Kompas, 1/12/07). Melihat kondisi HIV-AIDS di Yogyakarta yang cukup menghawatirkan, maka tidak seyogyanya pemerintah Bantul dengan mudah mengklaim angka penderita HIV-AIDS di daerahnya turun akibat Perda No 5/ 2007 tentang pelarangan pelacuran di Bantul.
Ada beberapa hal yang mesti dipertimbangkan oleh pemerintah Bantul terkait soal HIV-AIDS. Pertama, konteks struktural, dalam penanggulangan HIV-AIDS diperlukan adanya politik kesehatan yang jelas dan terarah. Dan disertai anggaran kesehatan untuk menanggulangi HIV-AIDS, terutama anggaran obat-obatan untuk penderita HIV-AIDS. Pemerintah Yogyakarta telah menyediakan layanan one stop service di puskesmas-puskesmas dan melalui mobile clinic untuk menjangkau kelompok-kelompok resiko tinggi. Akan tetapi, jika perda No 5/2007 tersebut tidak melokalisir para pekerja seks, maka akan menyulitkan kontrol kesehatan mereka. Akibatnya kesehatan kelompok resiko tinggi ini tidak terjamin. Kegiatan seks merekapun cenderung tidak aman, sehingga epidemik HIV cepat berkembang.
Kedua, pertimbangan kultural yang berbasis adil gender sebaiknya dipertimbangkan oleh pemerintah dalam penanggulangan HIV-AIDS. Artinya, pemerintah dalam mencegah epidemik HIV-AIDS hendaknya menggunakan respon yang berbasis gender. Salah satunya adalah pencegahan HIV untuk perempuan. Dengan pertimbangan, baik kondisi fisiologis maupun sosial kultural perempuan rentan terhadap penularan HIV. Organ reproduksi perempuan memiliki selaput mukosa yang luas sehingga mudah luka dan iritasi. Sedangkan kerentanan sosial kultural lebih dijelaskan pada posisi subordinat perempuan. Dalam perilaku seksual, laki-laki memiliki peran dominan dalam menentukan aktifitas seksual. Posisi ini menimbulkan dampak yang merugikan bagi perempuan. Perempuan gampang mengalami tindak kekekerasan, yakni korban kekerasan seksual atau korban perkosaan.
Selain itu, selama ini stigma dan diskriminasi melekat pada penderita HIV-AIDS. Yakni, HIV-AIDS adalah penyakit kutukan, penyakitnya pekerja seks, perilaku seksual menyimpang, dan lain-lain. Stigmatisasi ini juga dilekatkan pada orang yang menderita HIV-AIDS, sehingga para ODHA (orang dengan HIV-AIDS) mengalami diskriminasi baik dari keluarga maupun masyarakat. Konsekuensi negatif tersebut menimbulkan perempuan menghindari tes HIV-AIDS. Terbukti di Bantul selama tahun 2007 ini hanya 2 orang yang melakukan VCT (KR,5 Feb 2008).
Pendekatan moralistik tidak akan mampu efektif untuk mencegah penyebaran HIV-AIDS, jika solusi yang ditawarkan tidak menyentuh pada problem struktural dan kultural dalam pencegahan epidemik HIV-AIDS. Untuk itu, hasil survei tersebut perlu diperdebatkan dan dikaji ulang, agar tidak menyesatkan bagi para pengambil kebijakan, terutama kebijakan kesehatan.

Remaja dan HIV/AIDS

Berdasar data dari Dinas Kesehatan Propinsi Daerah Istimewa Yoyakarta dapat disimpulkan bahwa jumlah pengidap HIV-AIDS di Daerah Istimewa Yogyakarta mengalami kenaikan tiap tahun, bahkan pada tahun 1993 usia remaja mulai beresiko tinggi. Dari data di bawah dapat ditarik kesimpulan bahwa penderita HIV/AIDS mulai merambat pada usia remaja awal yaitu 12 tahun sampai usia remaja akhir yaitu 20 tahun. Jika data penderita HIV-AIDS dibedakan menurut jenis kelamin, maka perempuan tercatat sebagai kelompok yang paling tinggi terinfeksi HIV-AIDS di seluruh dunia. Setelah dikalkulasi dari berbagai sumber, maka data tersebut dapat digambarkan dalam tabel sebagai berikut:

Tabel 2.
Kalkulasi Data Remaja Penderita HIV/AIDS Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2007
Tahun Kelompok Umur Presentasi Sumber
HIV AIDS
2004 20 ? 29 tahun 68 19 Kompas, 1 desember 2007
(Dinkes DIY)
1993 ? Oktober 2007 12 - 30 tahun 35% atau 251 kasus dari 455 kasus Kedaulatan rakyat, 30 september 2007 & Bernas, 1 Desember 2007 (Depkes DIY)

1993 ? Oktober 2007 < 5 tahun ? 19 tahun 455 HIV / AIDS
Kompas, 1 desember 2007
(Dinkes DIY)
5 tahun 14 anak
5 ? 19 tahun 6 anak
17 ? 30 tahun 15 orang data PMI
20 ? 29 tahun 245 orang

Dapat kita bayangkan betapa berbahayanya HIV/AIDS tersebut. Berdasar fase perkembangan antara umur 12 tahun sampai 20 tahun adalah fase dimana remaja mengalami beragam masalah. Mulai dari pencarian identitas diri, kebingungan status sebagai remaja beranjak dewasa atau masih remaja yang cenderung kekanak-kanakan. Berbagai proses pencarian identitas tersebut memicu remaja untuk pencarian identitas diri yang sebenarnya. Berbagai media mereka gunakan untuk proses pembentukkan diri. Sangatlah bagus jika media yang dipakai bersifat positif, seperti lewat kesenian yang kreatif dan menuju pengembangan bakat atau agama. Hal tersebut bisa membentuk identitas kepribadian remaja yang baik. Namun jika media pembentukkannya bersifat negatif, seperti melalui perkelahian, geng, pergaulan bebas, bahkan narkoba tentu sangat berdampak buruk. Perilaku tersebut dapat menjerumuskan kelompok muda sebagai golongan potensial yang tertular HIV/AIDS ataupun penular virus mematikan tersebut. Yogyakarta berada di peringkat 15 untuk kasus HIV/ AIDS terbanyak di Indonesia. Remaja merupakan usia yang paling berisiko terhadap HIV/AIDS ini, sehingga harus ada pendampingan untuk menuju kegiatan yang positif dan mendapat pelajaran mengenai HIV/ AIDS agar dapat melakukan tindakan pencegahan. Banyak faktor yang menyebabkan penyakit HIV/ AIDS, antara lain faktor yang paling berisiko penggunaan jarum suntik bergantian dan tidak steril. Selain itu juga perilaku seksual yang menyimpang, seperti seks bebas. Semua itu sangat mungkin terjadi pada remaja, karena pada usia ini manusia sedang mencari identitas dirinya. Dengan fakta tersebut Yogyakarta sebagai kota yang terdiri atas berbagai macam pelajar dan remaja memiliki faktor risiko tinggi terhadap penularan HIV/ AIDS, sehingga tidak bisa tidak harus dicegah. Berdasar data dapat dikalkulasikan bahwa kelompok remaja yang rentan terhadap HIV/AIDS adalah kelompok pengguna narkoba suntik. Berikut gambaran datanya seperti tabel di bawah ini.






Tabel 2.
Kalkulasi Kelompok Rentan HIV/AIDS di DIY Tahun 2007
Tahun Faktor Penyebab Presentasi Sumber
1993 ? Oktober 2007 1. Heteroseksual 455 Kasus Kompas, 1 desember 2007
(Depkes DIY)
Akhir Februari 2007 2. Pemakai Narkoba 50% dengan total 124 dari 391 kasus. Bernas, 25 April 2007 (Dinkes DIY)
Januari ? Februari 2007 5 kasus dari 9 kasus
1993 ? Oktober 2007 74 HIV DAN 55 AIDS Kedaulatan Rakyat, 18 Maret 2007

Ada berbagai hal yang bisa dilakukan untuk pencegahan, baik oleh remaja itu sendiri dan keluarga atau oleh pihak pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat atau masyarakat umum lainnya, yaitu sebagai berikut:

1. Biasanya pemberian VCT (Visited Control Test) atau kunjungan tes kontrol hanya boleh dilakukan oleh tenaga yang terdidik dan terlatih tapi bukan berarti remaja tidak dapat turut aktif dalam penanggulangan HIV/AIDS. Sebagai remaja, kita dapat melakukan VCT-VCT lainnya. Misalnya Visual Care Technique atau teknik menjaga pandangan agar terhindar dari perilaku-perilaku seks menyimpang yang dapat membuka peluang masuknya HIV ke dalam tubuh kita. Teknik ini antara lain tidak berpacaran secara berlebihan dan tidak mendekati hal-hal yang berbau pornografi dan pornoaksi.
2. Selain itu ada Vertical Chain Technique yaitu teknik penghindaran HIV/AIDS dengan cara meningkatkan hubungan vertikal. Maksud hubungan vertikal disini adalah hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Teknik ini dapat ditempuh dengan cara meningkatkan keimanan kepada Tuhan, meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadah, dan selalu mengingat Tuhan di setiap langkah hidup kita.
3. Tidak hanya itu, remaja juga dapat menggunakan prinsip Valiant, Cautious and Thinking. Valiant atau berani maksudnya kita harus berani mengatakan ?tidak? untuk narkoba karena narkoba membuka peluang besar penularan HIV (terutama penggunaan narkoba suntik). Cautious atau berhati-hati maksudnya kita harus berhati-hati dalam bergaul. Jangan sampai mengikuti pergaulan yang menjerumuskan kita kepada narkoba dan seks bebas. Thinking atau berpikir artinya kita harus selalu berpikir jernih sebelum memutuskan untuk melakukan sesuatu. Apalagi jika hal tersebut berkaitan dengan masa depan kita.
4. Ini yang perlu diingat! dalam memperlakukan penderita HIV/AIDS, kita dapat menggunakan VCT (Vast, Chum, and Totalcare). Vast artinya luas. Maksudnya kita harus meluaskan pikiran kita dan pikiran masyarakat tentang apa itu HIV/AIDS serta bagaimana memperlakukan ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS). Chum (teman baik), kita harus bisa menjadi teman baik bagi ODHA. Totalcare. Artinya kita harus tetap memperlakukannya dengan wajar, sama seperti kita memperlakukan orang lain, kita harus menyayanginya, mendengar semua keluh kesahnya, membantu agar ia dapat menjalani hidupnya secara positif, dan sebisa mungkin mengajaknya untuk melakukan pengobatan. Melalui cara-cara inilah remaja dapat berperan aktif membantu pemerintah dalam memberantas HIV/AIDS, bukan orangnya
5. Audensi antara remaja dengan pemerintah. Di kalangan pelajar SLTA yang tergabung dalam forum remaja PKBI mengusulkan kesehatan reproduksi, termasuk didalamnya pelajaran tentang HIV/AIDS masuk dalam kurikulum sebagai muatan lokal. Sejak diusulkan awal tahun 2000 pendidikan kespro belum masuk juga jadi mata pelajaran khusus kecuali dalam pembahasan lainnya. Padahal pendidikan kespro tidak bisa diberikan secara terpotong-potong karena bisa mengurangi makna dan pemahaman terhadap HIV/AIDS.
6. Ketahanan keluarga dengan cara menahan budaya asing, puasa seks untuk remaja pra nikah, dan Screening darah donor bagi keluarga. Upaya dini melalui Komunikasi, Informasi dan Edukasi dengan komunikasi interpersonal di keluarga.
7. Dengan mengembangkan Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) di Puskesmas yang sangat cocok untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan remaja di sekolah, di jalanan atau di tempat lainnya. PKPR ini melibatkan juga partisipasi remaja sebagai pembawa pesan kesehatan dan menjadi model yang berperilaku hidup sehat bagi teman sebaya.

Keluarga Pengamen Jalanan

Di perempatan Jalan Jakarta dan Kiaracondong Bandung setiap pengendara pasti selalu melihat pemandangan yang mengenaskan. Sebuah keluarga besar yang terdiri dari ibu, anak, dan cucu berpanas-panasan atau berhujan-hujanan mencari uang dengan mengamen, mengemis, atau melap mobil yang berhenti dengan kemoceng (di Padang kami menamainya bulu ayam). Si ibu menggendong cucunya kesana kemari sambil mengemis uang dari pengendara yang berhenti ketika lampu merah, sementara anak gadisnya yang berjumlah tiga orang mengamen dengan alat musik seadanya: gitar butut, kincring-kincring, dan botol aqua. Diperempatan itu tidak hanya mereka yang mengamen, tetapi juga beberapa lelaki remaja khas anak jalanan. Mereka berbaur dalam kehidupan jalanan yang bebas dan keras.

Oh ya, setahu saya cucu yang digendong ibu itu adalah anak dari anak gadisnya yang paling besar. Dua tahun yang lalu saya melihat anak gadis ini terlihat hamil, tidak jelas siapa ayah si jabang bayi. Kehidupan para orang jalanan ini memang terlihat bebas. Mereka tidur di emper-emper toko beralaskan koran dan berselimutkan kain lusuh. Karena banyak pengamen jalanan hidup seperti ini, maka tidak heran jika seks bebas pun bukan barang yang aneh di kalangan mereka. Mungkin saja si anak gadis ibu tadi hamil karena pergaulan bebas tersebut.

Anak-anak perempuan yang mengamen di jalan cenderung mengalami pelecehan seksual dari remaja lelaki sesama pengamen. Hidup mereka yang bebas memungkinkan mereka tidak terikat norma dan mau melakukan apa saja. Sejak kecil anak-anak perempuan dan anak laki-laki sudah dididik orangtuanya mengamen dan mengemis di jalan. Tanpa malu-malu keluarga pengamen ini berbaring dan duduk-duduk di pinggir jalan seakan tidak peduli dengan lalu lalang orang yang melihat kehidupan mereka. Anak-anak mereka yang masih bocah berlari-lari ke sana kemari tanpa takut ditabrak mobil, sebagian yang lain asik memakan remah-remah nasi bungkus. Tampang mereka dekil, kulit hitam terbakar matahari, rambut menjadi gimbal. Di perempatan Jalan Dago dan jalan Riau kita akan menemukan pemandangan keluarga pengamen dan pengemis semacam ini.

Tidak ada solusi yang ampuh untuk mengatasi masalah sosial ini. Mereka hadir di jalanan karena kita memberi peluang kepada mereka untuk meneruskan “profesinya”. Dengan tetap memberi mereka recehan uang, mereka akan terus bergerilya di jalanan karena merasa sangat mudah mencari uang tanpa perlu kerja keras. Seharusnya tugas negaralah untuk mengentaskan mereka dari kepapaan hidup, karena di dalam UUD 1945 disebutkan bahwa “anak yatim dan orang-orang terlantar dipelihara oleh negara”. Tetapi tampaknya Pemerintah Kota (wakil negara) membiarkan kaum jalanan ini tetap beraksi. Razia yang dilakukan terhadap mereka tidak efektif sebab setelah dilepaskan mereka akan kembali lagi ke jalan.

Kita yang sering terenyuh dengan pengemis dan pengamen jalanan sering dibuat serba salah. Jika tidak diberi uang, ada perasaan seakan diri kita kikir, tetapi jika diberi uang mereka semakin ketagihan dan akan terus berada di jalanan. Seorang pembaca di koran pernah mengusulkan bahwa kepada anak-anak yang mengamen kita jangan memberi mereka uang, tetapi berilah biskuit atau penganan agar mereka tidak kekurangan gizi. Alasannya adalah pengamen anak-anak ini kemungkinan besar menggunakan uang hasil mengamen untuk membeli kebutuhan yang bersifat merusak tubuh mereka seperti rokok, minuman atau makanan berwarna, bahkan mungkin saja untuk ngelem atau untuk narkoba. Jadi, siapkan di mobil anda permen, biskuit, atau roti ketimbang uang receh. Itu jika anda tetap berniat memberi.

HIV-AIDS, dan Keadilan Gender:Kasus Remaja

Setiap tanggal 1 Desember, masyarakat dunia memperingati hari HIV-AIDS. Peringatan ini diharapkan dapat mencegah penyebaran HIV-AIDS. Saat ini masyarakat dunia merasakan penyebaran HIV-AIDS semakin meluas dan tak terkendali. Arus globalisasi memudahkan epidemic HIV-AIDS masuk dari satu negara ke nagara lain. Epidemic HIV-AIDS pertama kali ditemukan di Afrika Tengah, dan kemudian menyebar hingga ke Indonesia.
Angka penderita HIV-AIDS pun cenderung meningkat, baik di tingkat internasional maupun nasional. Menurut data dari Departemen Kesehatan di Indoenesia, secara kumulatif hingga September 2007, AIDS berjumlah 10.384 kasus penederita, sedangkan 6.000 penderita dalam stadium HIV yang belum mempunyai gejala.Epidemic HIV-AIDS tidak bisa dilihat sebelah mata. Karena di Indonesia tidak ada propinsi bebas dari HIV-AIDS, bahkan sudah menjangkit hampir separuh kabupaten di Indonesia. Di daerah Yogyakarta, menurut Dinas Kesehatan pada tahun 2002 hingga Oktober 2007, penderita HIV-AIDS berjumlah 398 .
Jumlah penderita HIV-AIDS merupakan fenomena gunung es. Secara riil penderita HIV-AIDS belum terdata secara keseluruhan. Data HIV-AIDS ini pun banyak di dapat dari kelompok resiko tinggi dan bagi mereka yang sadar memeriksakan dirinya. Kesadaran untuk test HIV-AIDS tidaklah gampang bagi masyarakat Indonesia saat ini. Epidemic HIV-AIDS tekait dengan stigma dan diskriminasi. Selama ini ada beberapa stigma yang melekat pada penderita HIV-AIDS. Yakni, HIV-AIDS adalah penyakit kutukan, penyakitnya pekerja seks, perilaku seksual yang menyimpang, dan lain-lain. Stigmatisasi ini tidak saja melekat pada HIV-AIDS itu sendiri tetapi juga pada orang yang terinfeksi HIV-AIDS. Ketakutan akan konsekwensi negatif tersebut menimbulkan banyak orang menghindari tes HIV-AIDS.
Kondisi ini menunjukkan bahwa minimnya informasi HIV-AIDS di tingkat masyarakat. Akses informasi HIV-AIDS ini akan sulit diakses di daerah-daerah terpencil atau daerah-daerah miskin , terutama masyarakat marginal.Kelompok marjinal dalam hal ini termasuk pada kelompok remaja. Persoalan remaja sering kali tidak menjadi prioritas utama, melainkan termarjinalkan. Kelompok remaja sering kali diabaikan dalam hak-hak kesehatan reproduksi mereka, termasuk kehamilan tak diinginkan, narkotika, dan lainnya.. Akibatnya, remaja menjadi salah satu kelompok rentan dalam epidemic HIV-AIDS. Perlu diketahui bahwa usia remaja adalah usia yang mulai mengeksplorasi rasa ingin tahu dari soal masalah pergaulan, hingga masalah seks. Eksplorasi keingintahuan remaja pada hal-hal yang dianggap ?ruang dewasa? sering menimbulkan masalah baru bagi remaja. Terutama dalam hal masalah kesehatan reproduksi, yang pada gilirannya berhadapan dengan masalah HIV-AIDS yang sering dihubungkan dengan seks dan narkoba.
Secara realistis, banyak remaja tidak mengetahui dengan baik HIV-AIDS. Pemahaman yang salah terhadap HIV-AIDS, akan menimbulkan epidemic virus di dalam tubuh remaja . Kondisi ini terkait dengan data HIV-AIDS yang diderita oleh remaja semakin meningkat. Sebelum tahun 2004 sebagian besar penderita HIV-AIDS berusia 30 tahun ke atas. Setelah tahun 2004 penderita HIV-AIDS bergeser ke usia muda (20-29 tahun). Di dunia, setiap hari lebih dari 5.000 remaja berusia 15-24 tahun terjangkit HIV. Epidemic HIV-AIDS ke remaja hampir terjadi di seluruh belahan dunia, terutama di Negara-negara berkembang. Di Indonesia, angka tertinggi penderita HIV-AIDS adalah pada kelompok usia 20-29 tahun (53,80 %). Angka epidemic HIV-AIDS pada kelompok muda akan mempengaruhi penurunan kualitas sumber daya manusia, sebagai penerus bangsa.
Salah satu pemicu utama kasus HIV-AIDS di kalangan remaja adalah narkoba suntik. Sebagaimana kasus di Sleman, Yogyakarta, data penderita HIV-AIDS tertinggi di kelompok usia 20-35 tahun (80%), salah satunya karena narkoba suntik . Tidak berlebihan bila pemerintah menetapkan kelompok narkoba suntik sebagai kelompok beresiko tinggi. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitiannya Baby Jim Aditya. bahwa para pecandu laki-laki yang menggunakan narkotika suntik selama lebih dari 5 tahun, rata-rata telah bertukar jarum suntik hingga 150 orang. Merekapun juga melakukan hubungan seksual tidak aman dengan 20-50 orang. Mereka tidak menutup kemungkinan berhubungan seks dengan orang di luar pecandu narkoba, misalnya pacar, istri, atau pekerja seks. Hal ini akan meningkatkan jumlah kehamilan yang terinfeksi HIV-AIDS. Jelas, ini menguatkan bahwa perempuan lebih mudah dan rentan terinfeksi HIV-AIDS. Perempuan berusia antara 15-24 ahun memiliki resiko lebih besar terinfeksi HIV-AIDS.

Dampak gender terhadap HIV-AIDS
PBB pada peringatan hari AIDS internasional tanggl 1 Desember 2004 menetapkan fokus penanganan HIV-AIDS pada perempuan dan remaja putri. Pada tahun 2004 di Afrika, ada 60 % persen penderita HIV-AIDS adalah perempuan. Untuk Asia Selatan ada 30 % penderita HIV-AIDS adalah perempuan, sedangkan di Eropa Timur 34 %. Untuk kasus DIY, data yang ada belum menunjukkan adanya data terpilah. Akan tetapi, di DIY ditemukan kasus bayi terinfeksi HIV-AIDS ada 172 bayi. Angka ini bisa dipahami bahwa perempuan, ibu si bayi, sudah terinfeksi HIV-AIDS. Masuknya perempuan sebagai salah satu kelompok rentan adalah terkait dengan ketimpangan gender yang dialami perempuan selama ini.
Ada tiga faktor kerentanan yang dapat menjelaskan kerentanan perempuan terinfeksi HIV-AIDS. Pertama, Faktor kerentanan Biologis. Organ reproduksi perempuan memiliki selaput mukosa yang luas. Dinding vagina memiliki lapisan tipis yang lembut dan mudah luka atau iritasi. Organ reproduksi ini bila terjadi penetrasi penis dengan kekerasan atau paksaan ataupun penis dengan IMS akan lebih memudahkan terjadinya penularan. Perlu diingat bahwa jumlah virus HIV di dalam sperma lebih banyak dibandingkan jumlah virus HIV di cairan vagina. Perempuan sebagai penampung sperma akan lebih besar kemungkinan terinfeksi HIV-AIDS.
Kedua, faktor kerentanan sosial kultural. Di dalam masyarakat perempuan dikonstruksikan sebagai posisi kedua setelah laki-laki. Perempuan dituntut bersikap penurut, pasif, sabar, dan setia. Sementara laki-laki dituntut bersikap dominan,dan agresif. Dalam perilaku seksual, laki-laki memiliki peran dominan dalam menetukan aktifitas seksual. Sikap ini ditunjukkan pada pengesahan sebagian masyarakat yang mewajarkan laki-laki memiliki pasangan lebih dari satu, baik semasa pacaran maupun semasa menikah. Peran yang ditonjolkan oleh perempuan adalah peran pelayanan dan pengasuhan. Perempuan dituntut menjalankan peran pelayanan terhadap pacar, suami dan anak.
Posisi subordinat perempuan akan menimbulkan dampak yang merugikan bagi perempuan. Yakni, perempuan gampang mengalami tindak kekerasan, diantaranya: korban kekerasan seksual; pelecehan seksual, korban perkosaan individu ataupun massal, dan korban incest. Korban kekerasan seksual banyak terjadi pada perempuan di usia muda. Tindak kekerasan ini berdampak meningkatnya perempuan muda yang terinfeksi menular seksual ataupun HIV-AIDS. Selain itu, kurangnya akses pendidikan dan informasi bagi perempuan. Kenyataan ini akan menggiring pada perempuan tidak memiliki sumber daya yang memadai untuk melindungi dirinya dari HIV-AIDS. Perempuan banyak menjadi korban trafiking (perdagangan), dan dipaksa menjadi pekerja seks.
Posisi subordinat perempuan tersebut dikuatkan oleh kultur . Banyak tradisi yang merugikan perempuan dilingkungan kita. Diantaranya, kasus perjodohan akan merugikan perempuan. Kebanyakan pihak laki-laki menentukan pilihan pasanganya. Laki-laki cenderung memilih perempuan di usia muda. Akibatnya, perempuan di usia muda menjadi korban kawin paksa. Tentunya model pernikahan semacam ini mengandung resiko, karena kita tidak tahu pasti perilaku seksual pasangan kita.
Ketiga, factor kerentanan ekonomi. Sebagian besar perempuan tidak memiliki penghasilan sendiri. Laki-laki dikonstruksikan sebagai pencari nafkah utama. Sehingga perempuan secara ekonomi tegantung dengan pasangannya. Perempuan juga mengalami kesulitan dalam mendapatkan modal atau kredit usaha. Kondisi kemiskinan mendorong perempuan terjebak menjadi pekerja seks, korban perdagangan, dan perempuan yang dilacurkan. Di dalam industri seks, para pelaku usaha menuntut pekerja seks berasal dari kelompok perempuan muda ?remaja- agar harganya meningkat. Para pekerja seks seringkali mendapat kekerasan seksual yang dilakukan oleh para pelanggan, para preman, atau penegak hukum. Tentu kondisi semacam ini menggiring perempuan atau remaja putri rentan terinfeksi HIV-AIDS. Dan salah satu kelompok resiko tinggi adalah perempuan pekerja seks.


Kesimpulan

Epidemi HIV-AIDS di Indonesia sudah berada pada kondisi yang serius dan menghawatirkan. Penyebarannya sudah menyebar ke seluruh kelompok masyarakat, tidak saja pada kelompok resiko tinggi, tetapi juga berisiko bagi kita semua. Kelompok remajapun telah menjadi kelompok rentan terhadap epidemic HIV-AIDS. Selama ini, kita tidak menyangka bahwa HIV-AIDS juga menyerang pada kelompok remaja. Pemahaman yang salah terhadap HIV-AIDS akan mendorong cara pencegahannyapun tidak efektif. Oleh karena itu, kita perlu merubah paradigma kita dalam melihat HIV-AIDS yang dipenuhi stigma memojokkan dan menghinakan.
Sudah saatnya, kita perlu memperhatikan hak-hak kesehatan bagi remaja, yang selama ini terabaikan. Masalah ini pula tidak bisa lepas dari masalah gender. Mengingat kelompok yang rentan adalah remaja putri. Untuk itu, perlu diupayakan langkah-langkah dalam pencegahan dan penyelamatan pada generasi muda dari HIV-AIDS. Yakni, pertama, strategi pemberdayaan bagi remaja sebagai upaya meningkatkan kepercayaan dirinya dan rasa harga diri. Diharapkan remaja dapat bersikap asertif untuk mengatakan tidak terhadap hubungan seksual di luar nikah atau dengan bukan pasangan resminya (status menikah). Remaja harus berani mengatakan tidak untuk penggunaan narkoba. Kedua, perlunya informasi dan pendidikan bagi remaja, khususnya remaja putri. Mengingat posisi perempuan selama ini yang terpinggirkan terhadap akses informasi. Ketiga, ,mendorong remaja putra untuk meningkatkan tanggung jawab yang lebih besar dalam berelasi dengan perempuan. Keempat, meningkatkan pelayanan kesehatan bagi remaja. Termasuk konseling kesehatan produksi untuk melindungi tubuhnya. Upaya ini perlu dukungan dari keluarga, sekolah, masyarakat, dan pemerintah dalam melindungi remaja kita dari infeksi HIV-AIDS.

Jeritan Pengamen Cilik

Baranang Siang yang kutumpangi, mendekatinya. Mobil itu berjalan merayap di tengah padatnya lalu lintas kota Bogor. Para penumpang yang berpakaian rapih, duduk berderet memenuhi mobil yang berwarna hijau muda tersebut.

"Hups...!" desis bocah itu saat melompat naik ke dalam angkot. Kemudian dia duduk di pintu mobil, tepat di depanku, dengan posisi badannya menghadap ke luar.
Hening sejenak, lalu dia mulai bicara.

"Selamat pagi tuan dan nyonya! Maaf mau numpang ngamen untuk sekedar cari makan," ucapnya tanpa sedikitpun menoleh pada penumpang.

Dikeluarkannya alat musik sederhana, yaitu sebuah 'kecrek' yang terbuat dari kaleng tutup botol yang dipakukan pada sepotong kayu, lalu dengan iringan musik ala kadarnya, dia mulai bernyanyi. Dari mulutnya yang mungil meluncurlah sebuah lagu kenangan yang pernah dipopulerkan oleh Franky Sahilatua.

/"Berjalan di lorong pertokoan, di Surabaya yang panas
debu-debu ramai beterbangan, dihempas oleh bis kota..."/
*/ /*
Dia bernyanyi dengan penuh semangat. Suaranya kencang seperti menjerit. Berisik memang, namun aku bersabar menunggu sampai pertunjukkan usai.

Sejak awal kehadirannya, aku perhatikan gerak-gerik anak kecil itu. Mataku tak berkedip memandangi dia yang duduk di depanku.

"Hmmm... harusnya jam segini dia ada di sekolah, tapi kenapa malah ngamen?" batinku dalam hati dengan penuh tanya.

Aku patut kecewa, karena pengamen tersebut tidak lain adalah adik asuhku sendiri. Dia adalah Topan, salah seorang bocah /drop out/ yang sering mangkal di sebuah mesjid samping kampusku.

Pertemuan antara aku dan Topan sering terjadi saat salat dhuhur dan ashar tiba. Topan biasanya berdiri di luar mesjid untuk menjaga sandal atau sepatu punya orang-orang yang akan melaksanakan salat. Dari upah menjaga sepatu tersebut, Topan mendapatkan uang recehan untuk sekedar jajan.

Masih terbayang di ingatanku saat pertama kali menyapa Topan.
"Kamu kelas berapa?" tanyaku sambil memakai sepatu.
"Saya tidak sekolah Kak..." jawab Topan dengan tatapan kosong.
"Loh... kenapa?" selidikku penasaran.
"Saya tidak punya uang untuk bayar SPP, beli buku dan seragam sekolah...," tutur Topan menjelaskan alasan kenapa dia putus sekolah.

Aku terdiam mendengar jawaban tersebut. Sebuah jawaban yang merupakan cerita abadi dari ribuan bahkan mungkin jutaan anak miskin yang terus berlanjut di bumi pertiwi. Mereka terpaksa harus putus sekolah karena tidak punya biaya.

Aku pandangi wajah mungil itu dengan sebuah tatapan simpatik dan penuh persahabatan.
"Kamu masih mau sekolah?" tanyaku dengan perasan ingin tahu.
"Mau Kak..." jawab Topan lirih dengan kepala menunduk.

Sejak saat itu aku punya adik baru. Seminggu dua kali, bertempat di beranda mesjid, aku memberikan les tambahan membaca dan berhitung, karena kemampuan Topan ketinggalan jauh oleh temen-temnnya yang lain.

Namun kejadian pagi itu, benar-benar di luar perkiraanku. Topan yang harusnya ada di sekolah tiba-tiba kujumpai berada di jalanan sedang mengamen. Aku merasa kecewa, pengorbananku selama ini tidak dimanfaatkannya dengan baik.

Saat itu, Topan tidak menyadari kalau dirinya sedang mengamen di depan kakak asuhnya. Seorang kakak angkat yang selama ini mencurahkan kasih sayangnya, memotivasi dia agar terus sekolah.

Di akhir lagu bis kota yang dia nyanyikan, sebuah lirik ditambahkannya sebagai penutup...

/"kalau kami kurang sopan mohon kami dimaafkan
karna kami kurang pendidikan

kalau kami ganggu anda yang berpendidikan
salam kami pengamen jalanan"/

Selesai bernyanyi, badan topan berbalik menghadap penumpang. Kemudian dia mengeluarkan bungkus permen yang sudah kosong dari saku celananya, sebagai penampung uang recehan. Sesaat kemudian, tangan kecil mungil menjulur ke penumpang, memohon belas kasihan dari mereka agar mau memberikan sekedar uang recehan, lalu...

"Kakak... !?!" ucapnya kaget, saat sepasang mata kecil itu beradu pandang dengan mataku yang menatap dirinya tajam. Wajah Topan terlihat pucat mengekspresikan perasan terkejutnya bercampur dengan rasa malu dan bersalah.

"Ssssttt.... !" aku menempelkan telunjuk pada bibirku, memberikan isyarat agar Topan tidak bicara. Lalu aku keluarkan uang dan memasukannya pada bungkus plastik yang dipegangnya. Tidak lama kemudian, dia membalikkan badan dan turun saat mobil berhenti di lampu merah.

********

Keesokan harinya, aku mendatangi SD tempat Topan belajar. Namun sayang, dia tidak ada di sekolah. Aku terkejut ketika diberi tahu kalau Topan sudah seminggu tidak masuk kelas.

"Hmmm... bandel juga tuh anak," gumamku dalam hati sambil pamit untuk mencari Topan.

Siang itu aku putuskan untuk mencari Topan di rumahnya. Mungkin bukan rumah, tapi tepatnya sebuah bedeng yang berada di pinggir sungai kecil yang kotor dan bau. Bedeng tersebut terbuat dari batako yang menempel pada rumah orang lain. Ukurannya dua kali empat meter. Dihuni oleh enam orang anggota keluarga.

Ketika tiba di rumah Topan, aku dipersilakan masuk oleh ibunya. Di sana ada ibu, tiga anak balita dan seseorang yang tengah berbaring lemah beralaskan tikar. Dia adalah bapaknya Topan yang bernama pak Ujang.

Profesi pak Ujang adalah tukang parkir di pasar Bogor.
"Bapak kenapa Bu?" tanyaku pelan.
"Dia sakit batuk dan demam" jawab ibu itu.
"Sudah ke dokter?"
"Sudah Kak, sudah dua kali ke Puskesmas, namun belum sembuh juga. Kata dokter harus istirahat yang banyak," ucapnya menjelaskan.

Hening sejenak...

"Topan kemana ya Bu? Dia hari ini tidak sekolah." tanyaku lagi.
"Iya, semenjak Bapaknya sakit, Topan menggantikan Bapaknya mencari uang.
Dia pergi ngamen tiap hari sejak seminggu yang lalu" jawab ibunya.

Seperti diguyur air es, badanku dingin mendengar penjelasan ibunya Topan. Anak sekecil itu harus berkelahi dengan waktu, mencari nafkah untuk keluarganya. Padahal umurnya belum genap sembilan tahun. Terbayang betapa berat tugas Topan.

Tidak lama kemudian aku pamit. Aku beritahu dia kalau lusa, aku akan meninggalkan Bogor dan aku berharap bisa ketemu Topan terlebih dulu sebelum pergi. Lewat ibunya, aku menitip pesan agar Topan menemui diriku di Mesjid besok siang.

Keesokan harinya, saat selesai salat dhuhur, Topan menemuiku di mesjid. Dengan muka yang lusuh dan terlihat letih dia berbicara.
"Kak kemarin ke rumah ya?"
"Iya, aku mencarimu. Kamu kemana aja?"
"Saya ngamen kak...," ujar dia lirih

Aku tahu dia ngamen untuk menggantikan tugas ayahnya mencari nafkah. Air mataku tak mampu kutahan lagi. Bagaikan bendungan pecah, airnya mengalir deras membasahi pipiku.

"Topan, kakak mau pamitan. Kakak sudah selesai kuliahnya," kataku pelan.
Anak itu terdiam sesaat, lalu...
"Kakak akan pergi dari sini?"
"Iya, kakak tidak akan tinggal di Bogor lagi. Kakak dapat kerjaan jauh sekali."

Hening sejenak, hanya isakan tangis dan lelehan air mataku yang bicara...
"Kak maafkan Topan ya... kakak pasti kecewa, topan bolos sekolah, Topan mau berterimakasih pada kakak... "

Kali ini aku tak kuat lagi, aku menangis... kupeluk dia erat sekali...

Itulah pelukan terkahir di hari perpisahan dengannya.

*********
Topan menjeritlah yang keras, sampai semua orang tahu keberadaanmu atau
waktu menguburmu dalam ketiadaan

Prostitusi di Kalangan Remaja

MAJALAH Time edisi Asia tanggal 4 Februari 2002 menurunkan laporan utama berjudul Perbudakan Anak. Di seluruh Asia, puluhan ribu anak-anak dari keluarga miskin dijual ke perbudakan, menjadi anak yang dilacurkan, pembantu atau buruh kasar. Anak, harta paling berhaga dari setiap keluarga terpaksa "dilego" karena kemiskinan yang melilit.
Majalah Time tadi berhasil melakukan investigasi praktik perdagangan anak di Thailand Utara untuk pelacuran. Korbannya terutama adalah anak-anak suku pegunungan atau dari Burma (Myanmar). Ada pula laporan tentang anak-anak yang dipekerjakan di jermal-jermal Sumatera Utara atau pembantu rumah tangga di India.

Khusus tentang pelacuran anak, sebenarnya sudah makin banyak aktivis yang mengangkat isu ini. Ron O'Grady, misalnya, menulis buku Child and the Tourist menyebut pelacuran anak di Asia sebagai bentuk perbudakan modern. Ia kemudian mendirikan ECPAT (End Child Prostitution in Asian Tourism) yang berpusat di Bangkok. ECPAT kemudian meluas ke seluruh dunia dan menjadi penyelenggara Kongres Internasional Eksploitasi Seksual terhadap Anak-anak di Stockholm tahun 1996 dan Yokohama akhir tahun 2001.

Bagaimana dengan pelacuran anak dan remaja di Indonesia?

Sebuah penelitian mengungkap fakta bahwa jumlah anak dan remaja yang terjebak di dunia prostitusi di Indonesia semakin meningkat dalam empat tahun terakhir ini, terutama semenjak krisis moneter terjadi. Setiap tahun sejak terjadinya krismon, sekitar 150.000 anak di bawah usia 18 tahun menjadi pekerja seks. Sementara itu, menurut seorang ahli, setengah dari pekerja seks di Indonesia berusia di bawah 18 tahun sedangkan 50.000 di antaranya belum mencapai usia 16 tahun.

Curhat kali ini membahas masalah prostitusi di kalangan remaja agar kita semua membuka mata dan melihat kenyataan ini sehingga dapat waspada dan tidak sampai tercebur di dunia prostitusi.

Alasan-alasan mengapa seorang remaja bisa terjerumus ke dalam dunia prostitusi juga sangat kompleks, karena menyangkut masalah sosial, ekonomi, pendidikan, angka putus sekolah, kesehatan (terutama menyangkut ketergantungan Napza) tidak saja dari pihak si remaja tadi melainkan juga keluarga dan seluruh masyarakat di sekelilingnya. Banyak dari mereka yang nekat menjadi pekerja seks karena frustrasi setelah harapannya untuk mendapatkan kasih sayang di keluarganya tidak terpenuhi. Sebagian datang dari keluarga broken home, sebagian ada yang pernah mengalami kekerasan seksual dari pacar atau anggota keluarganya sendiri seperti paman atau bahkan ayahnya.

Selain itu, peran media massa juga tidak dapat diabaikan. Liputan, tayangan film yang menampilkan adegan seks dan pornografi, serta perkembangan dunia mode dan fashion juga antara lain membuat para remaja (terutama perempuan) makin menyadari potensi seksual dan sensualitasnya serta bagaimana menggunakan potensi itu untuk memperoleh uang agar dapat mengikuti pola hidup konsumerisme yang sudah menjangkiti masyarakat.

Apa pun alasan seorang remaja terjun di dunia prostitusi, karakteristik pekerjaan yang harus dilakukan oleh pekerja seks membuat prostitusi menjadi pekerjaan yang berisiko tinggi. Dalam melakukan pekerjaannya, mereka berganti-ganti pasangan dan melakukan hubungan seksual dengan banyak orang. Di antara pelanggan yang datang dan pergi itu tentunya juga terdapat berbagai karakter manusia: ada yang lembut, ada yang kasar, ada yang sehat, ada pula yang berpenyakit menular, yang jujur, dan yang menipu.

Dari pelanggan yang banyak dan beragam itulah, risiko yang dihadapi seorang pekerja seks juga banyak dan beragam. Dari pelanggan yang penipu, mungkin saja ia tidak dibayar oleh pelanggan setelah melakukan aktivitas seksual. Apabila tidak menggunakan alat kontrasepsi, pekerja seks juga berisiko mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. Selain itu, posisi tawar yang lemah di pihak pekerja seks juga membuat mereka sering tidak berhasil membujuk pelanggannya untuk menggunakan proteksi/kondom. Akibatnya, dari pelanggan yang mengidap penyakit menular seksual (PMS), atau bahkan HIV/AIDS, pekerja seks tadi dapat tertular tanpa mampu melindungi tubuhnya. Apalagi ada mitos, karena risiko tertular HIV lebih besar jika berhubungan dengan pekerja seks dewasa, maka kaum pria hidung belang memburu anak-anak. Banyak jenis PMS yang tidak dapat dengan mudah disembuhkan, atau bahkan menimbulkan kematian kalau tidak ditangani serius. Selain itu, beberapa penyakit juga dapat merusak organ reproduksi secara permanen.

Risiko berat lain yang seringkali harus dihadapi remaja sebagai pekerja seks adalah kekerasan seksual yang dilakukan oleh pelanggan yang bisa jadi sampai mengancam nyawanya. Tidak jarang, pelanggan yang datang juga menginginkan bentuk hubungan seks yang tidak wajar, bahkan ada yang suka merekam aktivitas seksual mereka dengan kamera video.
Selain risiko karena karekteristik pekerjaannya sendiri, masih ada risiko lain. Prostitusi juga bukan dunia yang mudah ditinggalkan. Sekali kita tercebur, perlu usaha ekstra keras untuk berhenti. Banyak remaja, terutama di kalangan anak sekolah atau kuliah yang terjun ke dunia prostitusi memang tidak berniat untuk menjadikan prostitusi sebagai pekerjaan utamanya. Mereka berpikir, mereka hanya akan menjadi pekerja seks sementara saja. Dalam beberapa tahun ke depan mereka akan berhenti dan beralih profesi. Ternyata masalahnya tidak semudah itu. Apabila aktivitasnya sebagai pekerja seks ini diketahui oleh keluarganya (apalagi, misalnya, salah satu pelanggan merekam adegan seks mereka kemudian mengedarkannya), maka besar kemungkinan mereka tidak mau menerimanya kembali. Belum lagi teman-teman dan lingkungan masyarakat yang seringkali sangat judgemental atau bersikap menghakimi. Hal ini membuat mereka merasa lebih baik terus bekerja sebagai pekerja seks. Lama kelamaan, pilihan untuk bekerja si bidang lain akan tertutup.

Profesi sebagai pekerja seks tidak dipandang sebagai profesi yang terhormat oleh masyarakat. Memang di kalangan masyarakat luas sendiri terdapat semacam dualisme dalam menyikapi masalah prostitusi. Di satu pihak, demand atau permintaan terhadap pekerja seks remaja juga tetap tinggi dan banyak yang bersedia membayar pekerja seks remaja lebih mahal dibanding yang sudah berumur. Namun, di pihak lain, walaupun saat ini sebagian kecil masyarakat sudah mulai melihat para pekerja seks sebagai korban dan berusaha untuk menawarkan program-program pengentasan untuk menolong mereka, sebagian besar lain dari masyarakat masih terus mengutuk dan mengucilkan para pekerja seks, menganggap mereka sampah masyarakat. Bahkan ketika mereka ingin beralih profesi ke bidang lain yang dipandang bermartabat oleh lingkungannya, masyarakat tidak begitu saja menerima mereka. Hal ini mengakibatkan para pekerja seks mengalami kesulitan untuk alih profesi ke bidang lain.

Kalau dari tadi yang kita bahas adalah risiko bagi pihak perempuan, hal ini karena dalam dunia prostitusi memang lebih banyak perempuan yang bekerja sebagai pekerja seks dibanding laki-laki. Cowok yang menjadi pekerja seks biasanya melayani pelanggan homoseksual, walaupun belum tentu cowok tadi homoseksual juga. Sedangkan pekerja seks pria yang melayani pelanggan wanita sangat jarang.

Data yang pasti mengenai pekerja seks di bawah umur sangat sulit untuk diperoleh.

Pertama, karena biasanya pekerja seks tersebut diberi atau menggunakan identitas palsu di mana umur dan fotonya dibuat supaya terlihat lebih tua.
Kedua, hampir tidak ada keluhan baik dari pelanggan maupun para pekerja seks itu sendiri menyangkut aktivitas seksual yang dilakukan.
Ketiga, mobilitas para pekerja seks itu sendiri juga begitu tinggi sehingga mempersulit pelacakan.
Sulitnya memperoleh data itu membuat masalah ini tidak mendapat perhatian yang cukup, dan berdampak pada tidak jelasnya perlindungan yang (seharusnya) diberikan oleh pemerintah bagi para pekerja seks, terutama pekerja seks di bawah umur.

Dari risiko pekerjaan, hubungan dengan masyarakat dan minimnya perlindungan yang diberikan, kita tahu bahwa prostitusi bukanlah lapangan pekerjaan yang mudah dan menyenangkan. Mengenai penghasilan, benarkah prostitusi menjanjikan kekayaan? Ternyata tidak serta merta demikian. Dari jumlah yang dibayar oleh pelanggan, tidak semuanya bisa dimiliki oleh pekerja seks, khususnya pekerja yang tergantung pada pihak perantara. Ia harus membaginya dengan mucikari, perantara yang mengatur pertemuan antara pekerja seks dengan pelanggannya, atau germo, si pemilik rumah pelacuran. Bahkan pekerja seks independen yang tidak tergantung pada jasa perantara juga tidak bisa menikmati hasil keringatnya 100 persen. Dengan pekerjaan yang sangat berisiko terhadap kesehatannya, seringkali mereka harus mengeluarkan banyak uang untuk berobat memulihkan kesehatannya.

Oleh karena itulah, banyak perempuan baik remaja maupun dewasa yang sudah telanjur tercebur di dunia prostitusi merasa tidak ingin bertahan dan ingin keluar dari dunia yang digelutinya itu. Walaupun sangat sulit karena banyak godaan untuk kembali (antara lain karena sudah menyandang stigma tertentu di mata masyarakat sehingga sulit memperoleh pekerjaan baru), ada juga yang berhasil "keluar" dan beralih profesi ke bidang lain yang lebih sehat dan memiliki masa depan yang lebih cerah. Beberapa dari mereka bahkan kemudian aktif menjadi relawan untuk membantu teman-temannya yang ingin mentas dari dunia prostitusi, dan juga membagi pengalamannya kepada remaja lain agar tidak sampai mengalami kehidupan pahit yang telah mereka rasakan.

Begadang Memicu Kanker Prostat dan Payudara

Lagu “Begadang Jangan Begadang” -nya Rhoma Irama nampaknya ada benarnya. Begadang bukan hanya tak ada gunanya, tapi juga memicu kanker. Kenapa bisa begitu? Badan kesehatan dunia WHO baru saja mengeluarkan surat rekomendasi kepada begara anggota PBB untuk menilik kembali peraturan shift malam warganya.

Sel Rusak

Sebuah riset yang berlangsung dari 1987 oleh ahli kanker Steve Richards menunjukkan korelasi antara kerja malam dan kemungkinan menderita kanker. Orang-orang yang bekerja di malam hari hingga subuh atau pagi hari ternyata memiliki ketidakseimbangan hormon yang akhirnya mempengaruhi sistem kekebalan tubuh khususnya pada perkembangan sel-sel rusak yang seharusnya dihancurkan oleh sel-sel imun.

Pada tubuh normal, yakni waktu kerja pagi-sore, siklus metabolisme tubuh akan meningkat di pagi hari dan mulai menurun hingga malam hari. Saat seseorang memaksakan untuk terjaga di malam hari, tubuh akan memompa darah sebanyak mungkin dan mendorong sistem imun untuk meningkatkan sel-sel kekebalan tubuh seperti sel T dan CD4. Bila ‘pemaksaan’ ini dilakukan satu-dua kali, tubuh masih dapat memberikan toleransi tetapi saat menjadi kebiasaan, siklus tubuh yang diatur oleh jam biologis otak (circadian time clock) akan berubah dari default (pagi-sore) menjadi sore-pagi. Ini membuat kekebalan tubuh menurun di pagi hari dimana bibit penyakit dan bahan-bahan karsinogenik bertebaran di udara akibat perubahan suhu dan angin. Hasil riset ini dipublikasikan dalam The Lancet Oncology bulan ini.

Nah, bagaimana dengan Anda? Sering begadang atau dapat shift malam?
Disarikan dan dikembangkan dari

gejala maniak sesks

Gejala dari seseorang yang maniak seks sangat beragam dan bervariasi baik jenis maupun tingkatannya. Bisa bersifat kuat,
kronis dan bisa jadi dorongan ini terasa di luar kendali. Namun secara umum, gejala perilaku maniak seks dapat diketahui dari beberapa contoh di bawah ini :
1. Mempunyai pasangan Seks lain di luar nikah
2. Sering berhubungan seks dengan pasangan lain atau menyewa PSK
3. Menggunakan layanan komersial yang menampilkan sisi seksualitas via telepon.
4. Sering sekali melakukan masturbasi.
5. Seringkali melihat gambar-gambar pornografi.
6. Melakukan hubungan seks dengan sadis.
7. Memamerkan seksualitas kepada orang-orang

MUSIK JALANAN DAN PENGAMEN

Sudah bukan pemandangan aneh, saat kita naik bus kota atau berada di sebuah rumah makan, tiba-tiba nyelonong seseorang atau beberapa anak muda yang membawa peralatan musik seadanya, bernyanyi dengan suara keras, terkadang juga sering sumbang. Mereka langsung pergi atau tidak menyelesaikan lagu yang sedang dinyanyikannya, ketika ia diberi upah atau uang sekedarnya.

Mereka biasa disebut dengan pengamen, atau lebih kerennya, mereka lebih suka disebut dengan, “Penyanyi Jalanan�. Sementara musik yang mereka mainkan sering mereka sebut sebagai, “Musik Jalanan�. Sebenarnya pengertian “musik jalanan� dan “penyanyi jalanan�,tidaklah sesederhana terminologi yang mereka sebutkan seperti di atas. Sebab, musik jalanan dan penyanyi jalanan mempunyai disiplin dan pengertian yang spesifik, bahkan merupakan suatu bentuk dari sebuah warna musik yang berkembang di dunia kesenian.

Di dunia musik, bentuk “musik jalanan� ini dikenal sudah mulai berkembang sejak abad pertengahan, terutama di Eropa. Pada saat musik di Eropa berkembang lewat penyebaran Agama Kristen, saat itu banyak yang mengatakan sebagai landasan kebudayaan yang kemudian berkembang dalam kehidupan umat manusia.

Kendati bentuk musik yang dikembangkan lewat gereja itu sebenarnya adalah berdasarkan dasar-dasar pengetahuan musik Yunani. Lewat gereja, bentuk dasar itu dikembangkan selaras dengan perkembangan seni Drama, Seni Rupa dan Sastra. Bentuk musik yang dikembangkan lewat gereja itu, akhirnya dikenal sebagai Liturgi, kata yang berasal dari bahasa latin, Liturgia (Doa Dalam Bentuk Nyanyian).

Pada saat musik gereja berkembang pesat, di luar gereja berkembang suatu bentuk musik yang boleh dikatakan agak liar dan mempunyai tema yang lebih luas. Seperti cinta tidak sekedar digambarkan sebagai hubungan manusia dengan Tuhan secara frontal.

Oleh kalangan gereja, bentuk musik ini disebut sebagai musik duniawi. Dalam proses penciptaan atau terjadinya bentuk musik duniawi ini, tidak ada sangkut pautnya dengan gereja. Kendati pada awalnya antara musik gereja dan musik duniawi ini memang memiliki kesinambungan.

Musik duniawi yang berkembang saat itu, umumnya dibawakan atau dinyanyikan oleh para musafir atau pengelana. Mereka menggunakan alat musik yang sederhana dan praktis, biasanya alat musik berdawai semacam gitar. Para musikus pengembara itu berjalan dari satu tempat ke tempat yang lain, mengelilingi negeri, sambil bernyanyi. Mereka mendapatkan upah atau imbalan dari para penikmat musiknya. Di Perancis, musafir pemusik ini disebut troubadour, dan di Jerman disebut minnesaenger. Sampai saat ini, budaya semacam itu masih banyak dilakukan oleh kaum Gypsi, yang berada di daerah Spanyol.

Bahkan pengaruh musik mereka juga sempat terbawa ke Indonesia oleh bangsa Portugis. Musik mereka itu diserap oleh seniman musik Indonesia sebagai musik Keroncong. Keroncong asli kerap disebut sebagai keroncong moritsku atau morisko. Perkataan ini berasal dari moresca, yaitu sejenis tari pedang yang khas di antara bangsa Spanyol dan Portugis. Kerangka musik ini berkaitan juga dengan musik-musik Abad Tengah.

Fenomena itu mungkin menjadi awal kemunculan bentuk musik jalanan. Seperti di Indonesiapun, budaya ngamen semacam itu, sudah ada sejak sekitar abad ketiga belas, saat kejayaan Kediri atau Kahuripan. Saat itu sudah dikenal rombongan kesenian musik yang berjalan dari satu tempat ke tempat lain, dan menghibur lewat syair atau pantun yang berisi dongeng Panji. Mereka akrab disebut sebagai Dalang Kentrung. Keberadaan mereka terkadang berarti sakral bagi masyarakat yang dilewatinya, karena apa yang mereka lantunkan tidak sekedar hiburan, tetapi terkadang merupakan nasehat, isyarat bahkan ramalan masa depan dari situasi.

Namun dalam perkembangan jaman yang semakin kompleks, budaya ngamen ini juga ikut berkembang menjadi salah satu peluang untuk mencari nafkah dari sementara orang. Seperti banyaknya pengamen yang saat ini terlihat di sekeliling kita, sebernarnya juga menyimpan bermacam-macam motif. Ada yang melakukannya untuk mencari identitas, ada yang melakukan karena iseng, ada pula yang jadi pengamen karena memang harus mengejar nafkah.

Padahal dari karakter musik jalanan ini, terkadang muncul sebuah bentuk musik baru yang menarik untuk disimak. Mereka umumnya memiliki karakter diri yang kuat. Walau harus diakui banyak dari musisi jalanan ini yang memiliki keterbatasan di sisi akademik. Namun umumnya mereka memiliki keberanian dan karakter diri yang kuat.

Terkadang sebuah lagu yang mereka bawakan, secara teori akademik memang mengalami pendangkalan. Selain mereka memainkannya dengan peralatan ala kadarnya atau terbatas, tetapi optimisme yang mereka miliki membuat lagu-lagu tersebut mampu terdengar dalam bentuk yang berbeda dari aslinya. Lagu-lagu tersebut mampu muncul dalam bentuk yang mandiri dan spesifik. Mereka memang jarang menjadi epigon, Hal itu terlihat dari nama-nama besar yang asalnya juga menyerap dan membentuk karakter dirinya lewat jalanan seperti, Leo Kristi, Iwan Fals, Kuntet Mangkulangit, Kelompok Slank dan banyak lagi lainnya.

Sementara di mancanegara, tidak terhitung tokoh-tokoh musik jalanan yang karyanya menjadi legenda dan banyak dibawakan oleh artis-artis musik lainnya, salah satu diantaranya yang dianggap sebagai bapak penyanyi jalanan di Amerika, Bob Dylan, salah satu karyanya yang monumental, Blowind In the Wind, sampai saat ini sudah direkam dalam banyak versi.

Kebanyakan para pengamen atau penyanyi jalanan ini selalu tampil sebagai dirinya sendiri. Hingga tak jarang lagu-lagu yang mereka bawakan menjadi versi lain yang tak kalah menarik dari komposisi versi aslinya. Contohnya lagu-lagu popular dari kelompok Koes Ploes misalnya, hampir setiap pengamen pernah membawakannya. Namun sulit mencari yang membawakan dalam bentuk yang sama. Hampir semua mempunyai versi atau gaya berbeda dalam membawakannya.

Bila keberadaan para pengamen ini bisa mendapatkan arahan secara edukasi yang tepat dan berkesinambungan, bukan tidak mungkin dunia ngamen ini akan menjadi semacam lahan mentah dari pencarian bentuk-bentuk musik pop Indonesia, yang kian hari terasa semakin canggih dibidang skill atau keterampilan teori, namun semakin tipis dalam karakter, terutama bila menyentuh akar tradisi dan budaya yang semestinya menjadi ujung tombak untuk dikembangkan secara lebih luas ke dunia musik internasional sebagai aset bangsa dan negara.

Perilaku Seks Remaja: Makin Bebas!

Produsen kondom Durex, London International Group Plc., pada tahun 1999 pernah mengadakan survei perspektif remaja terhadap seks. Dalam kata pengantarnya dikatakan, remaja memegang peran penting karena remaja adalah indikator paling jernih, untuk mengetahui bagaimana dampak pendidikan seks dan kebudayaan terhadap keluarga dan orangtua masa depan di era Milenium baru.

Survei yang diberi nama 1999 Global Sex Survey, A Youth Perspective ini, mengambil 4.200 responden berusia 16-21 tahun dari 14 negara, yakni Amerika, Inggris, Kanada, Perancis, Jerman, Taiwan, Italia, Yunani, Meksiko, Polandia, Singapura, Republik Czech, Spanyol, dan Thailand (Kompas, 16 Oktober 1999).

Sayangnya, survei tersebut tidak menyertakan remaja Indonesia sebagai responden. Meski demikian, setidaknya bisa ‘sedikit’ diambil kesimpulan. Kenapa? Karena hasil survei tersebut menyangkut urusan seks remaja yang akhir-akhir ini makin bebas, bahkan mendekati liar. Di antara hasil survei tersebut adalah: Secara keseluruhan, 50 persen remaja mengatakan mereka melakukan seks pertama kali karena mereka dan pasangannya merasa siap. Hanya 12 persen mengatakan karena dibujuk atau dipaksa, dan 12 persen lagi mengaku melakukan seks dalam keadaan mabuk.

Meski hasil survei ini menunjukkan remaja terlihat amat bebas, tetapi masih ada yang mereka takuti. Takut sama Allah dan Rasul-Nya? Wow, kayaknya ketakutan seperti itu nggak ada dalam daftar mereka tuh! Tapi ketakutan mereka itu seputar masalah-masalah virus HIV/AIDs, Penyakit Menular Seksual (PMS), dan kehamilan. Itu saja. Bahkan hampir semua remaja (99 persen) sadar akan bahaya PMS dan HIV/ AIDs. Lebih dari 45 persen remaja putra dan putri mengaku takut pada HIV/AIDs dan PMS dibanding apa pun. Kehamilan merupakan kekhawatiran kedua setelah HIV/AIDs dan PMS bagi remaja. Sebanyak 32 remaja putri mengatakan takut hamil, dan 18 persen remaja putra takut menjadi ayah pada usia muda. Waduh, kalo gitu gaswat bener. Soalnya meski survei itu nggak menyertakan remaja di negeri ini, tapi ternyata perilakunya sama. Di sini seks bukan lagi sebagai sesuatu yang tabu dan suci lagi, tapi sudah lumrah dan liar. Mengerikan Brur!

Survei tersebut juga mengungkap tentang umur berapa remaja-remaja di negara yang disurvei itu pertama kali melakukan hubungan seks. Hasilnya? Remaja di Kanada dan Amerika menduduki peringkat paling muda dalam melakukan hubungan seks, yakni 15 tahun, diikuti Inggris umur 15,3, Jerman umur 15,6, dan Perancis pada umur 15,8 tahun. Remaja di Asia Tenggara cenderung melakukan seks lebih telat. Remaja Thailand mulai melakukan seks pada umur 16,5 tahun, dan Taiwan umur 17 tahun. Ini mungkin memperlihatkan pengaruh dari kondisi sosial dan tradisi budaya yang berbeda.

Melihat fakta seputar perilaku seks remaja yang makin bebas dan liar ini tentu saja kita semua prihatin. Kamu juga mungkin bisa geleng-geleng kepala atau mengurut dada. Namun, sikap peduli kamu bukan sekadar diwujudkan dengan geleng-geleng kepala atawa mengelus dada doang. Itu nggak cukup. Soalnya ini adalah masalah gede yang perlu—bahkan wajib—diselesaikan dengan benar dan baik. Bila tidak? Kehancuran sebuah masyarakat tinggal menunggu waktu saja, Brur!

Makin Berani

Brur, bagi kamu yang nggak biasa dengan kehidupan para remaja di kota-kota besar pasti bakalan ‘shock’. Suer, mereka ternyata beberapa langkah lebih maju dalam urusan seks. Tapi sayangnya maju dalam kerusakan. Waduh, bayangkan saja, anak SMP dan SMU—ya, seusia kamu-kamulah—mereka udah terbiasa dengan urusan seks yang—maaf—bukan sekadar pegangan tangan atau ciuman saja, tapi sudah lebih ke arah yang ‘suerrem’ banget tuh. Kamu pasti tahu dong. Ya, begitulah. Memilukan dan memprihatinkan sekali.

Non, dalam suatu investigasi yang dilakukan oleh majalah remaja pria ternama di ibukota—terhadap para remaja yang doyan kelayaban malam-malam—ternyata datanya cukup mencengangkan. Misalnya saja, ditemukan ada beberapa anak cewek yang melengkapi dirinya dengan barang bawaan yang nggak lazim, yakni bawa kondom dan alat tes kehamilan. Lho, kok anak cewek bawa-bawa kondom sih? Menurut pengakuannya kepada tim investigasi majalah tersebut, si gadis ini punya alasan: kondom adalah senjata utama yang bakal dia berikan kepada teman kencannya bila teman kencannya udah keburu nafsu tapi doi nggak bawa kondom. Jadi untuk jaga-jaga katanya. Kenapa? Soalnya takut hamil! “Kalo dia (cowoknya) nggak bawa kondom gimana, yang tekdung (hamil, Red) kan gue. So, mending gue yang sedia,” kata cewek 17 tahun itu. Waduh, kacau Rek!

Malah disebutkan pula dalam hasil investigasinya, bahwa bukan cuma cewek yang kena ‘todong’ itu saja yang suka bawa kondom dan alat tes kehamilan. Tapi menurut gadis itu, hampir semua teman-temannya melakukan hal yang sama seperti dirinya. Bahkan ada yang kemudian menjadikan barang-barang tersebut sebagai daftar belanja rutinnya. Wow, wow, wow, makin parah aje nih.

Dan, fakta yang satu ini bakal bikin kita nggak habis pikir. Kenapa? Sebab, banyak juga remaja ibukota yang making love di sembarang tempat. Tepatnya nggak peduli kapan dan di mana dia berada. Termasuk ada yang nekat ML alias berhubungan seks dalam mobil di jalan tol. Berikut pengakuan Irvan (bukan nama sebenarnya) seperti yang ditulis majalah HAI: “Entah kenapa, begitu masuk tol Ciawi tiba-tiba aja pengen. Karena nggak kuat gue pinggirin mobil dan gue ngelakuinnya di dalam,” kata cowok 17 tahun itu. Nggak heran emang. Irvan mulai ngelakuin seks bebas sejak setahun lalu. Sejak itu pula dia bisa berbuat di mana aja. Di rumah sering, di jalan pernah, dan di sekolah pun udah (HAI No. 41/XXIV) Edan memang!

Melihat gelagatnya, tentu saja teman-teman kamu yang tadi nggak jalan sendirian. Di belakang mereka masih banyak remaja yang melakukan perbuatan sejenis. Cuma nggak terdata aja. Ibarat fenomena gunung es. Kecil di permukaan, tapi besar di bawah. Wow, padahal itu baru kelakuan buruk remaja Jakarta, belum yang di Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Medan, Palembang, dan kota-kota besar lainnya. Bisa dibayangkan tentunya.

Seperti yang sering dibahas banyak orang, kelakuan mereka yang menjijikkan itu memiliki risiko yang nggak kecil. Penyakit AIDs sudah siap mengintai, belum lagi ancaman PMS lainnya, dan kehamilan yang nggak dikehendaki juga bisa membengkak datanya. Dan yang pasti pelakunya bakal disentuh api neraka.