Setiap tanggal 1 Desember, masyarakat dunia memperingati hari HIV-AIDS. Peringatan ini diharapkan dapat mencegah penyebaran HIV-AIDS. Saat ini masyarakat dunia merasakan penyebaran HIV-AIDS semakin meluas dan tak terkendali. Arus globalisasi memudahkan epidemic HIV-AIDS masuk dari satu negara ke nagara lain. Epidemic HIV-AIDS pertama kali ditemukan di Afrika Tengah, dan kemudian menyebar hingga ke Indonesia.
Angka penderita HIV-AIDS pun cenderung meningkat, baik di tingkat internasional maupun nasional. Menurut data dari Departemen Kesehatan di Indoenesia, secara kumulatif hingga September 2007, AIDS berjumlah 10.384 kasus penederita, sedangkan 6.000 penderita dalam stadium HIV yang belum mempunyai gejala.Epidemic HIV-AIDS tidak bisa dilihat sebelah mata. Karena di Indonesia tidak ada propinsi bebas dari HIV-AIDS, bahkan sudah menjangkit hampir separuh kabupaten di Indonesia. Di daerah Yogyakarta, menurut Dinas Kesehatan pada tahun 2002 hingga Oktober 2007, penderita HIV-AIDS berjumlah 398 .
Jumlah penderita HIV-AIDS merupakan fenomena gunung es. Secara riil penderita HIV-AIDS belum terdata secara keseluruhan. Data HIV-AIDS ini pun banyak di dapat dari kelompok resiko tinggi dan bagi mereka yang sadar memeriksakan dirinya. Kesadaran untuk test HIV-AIDS tidaklah gampang bagi masyarakat Indonesia saat ini. Epidemic HIV-AIDS tekait dengan stigma dan diskriminasi. Selama ini ada beberapa stigma yang melekat pada penderita HIV-AIDS. Yakni, HIV-AIDS adalah penyakit kutukan, penyakitnya pekerja seks, perilaku seksual yang menyimpang, dan lain-lain. Stigmatisasi ini tidak saja melekat pada HIV-AIDS itu sendiri tetapi juga pada orang yang terinfeksi HIV-AIDS. Ketakutan akan konsekwensi negatif tersebut menimbulkan banyak orang menghindari tes HIV-AIDS.
Kondisi ini menunjukkan bahwa minimnya informasi HIV-AIDS di tingkat masyarakat. Akses informasi HIV-AIDS ini akan sulit diakses di daerah-daerah terpencil atau daerah-daerah miskin , terutama masyarakat marginal.Kelompok marjinal dalam hal ini termasuk pada kelompok remaja. Persoalan remaja sering kali tidak menjadi prioritas utama, melainkan termarjinalkan. Kelompok remaja sering kali diabaikan dalam hak-hak kesehatan reproduksi mereka, termasuk kehamilan tak diinginkan, narkotika, dan lainnya.. Akibatnya, remaja menjadi salah satu kelompok rentan dalam epidemic HIV-AIDS. Perlu diketahui bahwa usia remaja adalah usia yang mulai mengeksplorasi rasa ingin tahu dari soal masalah pergaulan, hingga masalah seks. Eksplorasi keingintahuan remaja pada hal-hal yang dianggap ?ruang dewasa? sering menimbulkan masalah baru bagi remaja. Terutama dalam hal masalah kesehatan reproduksi, yang pada gilirannya berhadapan dengan masalah HIV-AIDS yang sering dihubungkan dengan seks dan narkoba.
Secara realistis, banyak remaja tidak mengetahui dengan baik HIV-AIDS. Pemahaman yang salah terhadap HIV-AIDS, akan menimbulkan epidemic virus di dalam tubuh remaja . Kondisi ini terkait dengan data HIV-AIDS yang diderita oleh remaja semakin meningkat. Sebelum tahun 2004 sebagian besar penderita HIV-AIDS berusia 30 tahun ke atas. Setelah tahun 2004 penderita HIV-AIDS bergeser ke usia muda (20-29 tahun). Di dunia, setiap hari lebih dari 5.000 remaja berusia 15-24 tahun terjangkit HIV. Epidemic HIV-AIDS ke remaja hampir terjadi di seluruh belahan dunia, terutama di Negara-negara berkembang. Di Indonesia, angka tertinggi penderita HIV-AIDS adalah pada kelompok usia 20-29 tahun (53,80 %). Angka epidemic HIV-AIDS pada kelompok muda akan mempengaruhi penurunan kualitas sumber daya manusia, sebagai penerus bangsa.
Salah satu pemicu utama kasus HIV-AIDS di kalangan remaja adalah narkoba suntik. Sebagaimana kasus di Sleman, Yogyakarta, data penderita HIV-AIDS tertinggi di kelompok usia 20-35 tahun (80%), salah satunya karena narkoba suntik . Tidak berlebihan bila pemerintah menetapkan kelompok narkoba suntik sebagai kelompok beresiko tinggi. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitiannya Baby Jim Aditya. bahwa para pecandu laki-laki yang menggunakan narkotika suntik selama lebih dari 5 tahun, rata-rata telah bertukar jarum suntik hingga 150 orang. Merekapun juga melakukan hubungan seksual tidak aman dengan 20-50 orang. Mereka tidak menutup kemungkinan berhubungan seks dengan orang di luar pecandu narkoba, misalnya pacar, istri, atau pekerja seks. Hal ini akan meningkatkan jumlah kehamilan yang terinfeksi HIV-AIDS. Jelas, ini menguatkan bahwa perempuan lebih mudah dan rentan terinfeksi HIV-AIDS. Perempuan berusia antara 15-24 ahun memiliki resiko lebih besar terinfeksi HIV-AIDS.
Dampak gender terhadap HIV-AIDS
PBB pada peringatan hari AIDS internasional tanggl 1 Desember 2004 menetapkan fokus penanganan HIV-AIDS pada perempuan dan remaja putri. Pada tahun 2004 di Afrika, ada 60 % persen penderita HIV-AIDS adalah perempuan. Untuk Asia Selatan ada 30 % penderita HIV-AIDS adalah perempuan, sedangkan di Eropa Timur 34 %. Untuk kasus DIY, data yang ada belum menunjukkan adanya data terpilah. Akan tetapi, di DIY ditemukan kasus bayi terinfeksi HIV-AIDS ada 172 bayi. Angka ini bisa dipahami bahwa perempuan, ibu si bayi, sudah terinfeksi HIV-AIDS. Masuknya perempuan sebagai salah satu kelompok rentan adalah terkait dengan ketimpangan gender yang dialami perempuan selama ini.
Ada tiga faktor kerentanan yang dapat menjelaskan kerentanan perempuan terinfeksi HIV-AIDS. Pertama, Faktor kerentanan Biologis. Organ reproduksi perempuan memiliki selaput mukosa yang luas. Dinding vagina memiliki lapisan tipis yang lembut dan mudah luka atau iritasi. Organ reproduksi ini bila terjadi penetrasi penis dengan kekerasan atau paksaan ataupun penis dengan IMS akan lebih memudahkan terjadinya penularan. Perlu diingat bahwa jumlah virus HIV di dalam sperma lebih banyak dibandingkan jumlah virus HIV di cairan vagina. Perempuan sebagai penampung sperma akan lebih besar kemungkinan terinfeksi HIV-AIDS.
Kedua, faktor kerentanan sosial kultural. Di dalam masyarakat perempuan dikonstruksikan sebagai posisi kedua setelah laki-laki. Perempuan dituntut bersikap penurut, pasif, sabar, dan setia. Sementara laki-laki dituntut bersikap dominan,dan agresif. Dalam perilaku seksual, laki-laki memiliki peran dominan dalam menetukan aktifitas seksual. Sikap ini ditunjukkan pada pengesahan sebagian masyarakat yang mewajarkan laki-laki memiliki pasangan lebih dari satu, baik semasa pacaran maupun semasa menikah. Peran yang ditonjolkan oleh perempuan adalah peran pelayanan dan pengasuhan. Perempuan dituntut menjalankan peran pelayanan terhadap pacar, suami dan anak.
Posisi subordinat perempuan akan menimbulkan dampak yang merugikan bagi perempuan. Yakni, perempuan gampang mengalami tindak kekerasan, diantaranya: korban kekerasan seksual; pelecehan seksual, korban perkosaan individu ataupun massal, dan korban incest. Korban kekerasan seksual banyak terjadi pada perempuan di usia muda. Tindak kekerasan ini berdampak meningkatnya perempuan muda yang terinfeksi menular seksual ataupun HIV-AIDS. Selain itu, kurangnya akses pendidikan dan informasi bagi perempuan. Kenyataan ini akan menggiring pada perempuan tidak memiliki sumber daya yang memadai untuk melindungi dirinya dari HIV-AIDS. Perempuan banyak menjadi korban trafiking (perdagangan), dan dipaksa menjadi pekerja seks.
Posisi subordinat perempuan tersebut dikuatkan oleh kultur . Banyak tradisi yang merugikan perempuan dilingkungan kita. Diantaranya, kasus perjodohan akan merugikan perempuan. Kebanyakan pihak laki-laki menentukan pilihan pasanganya. Laki-laki cenderung memilih perempuan di usia muda. Akibatnya, perempuan di usia muda menjadi korban kawin paksa. Tentunya model pernikahan semacam ini mengandung resiko, karena kita tidak tahu pasti perilaku seksual pasangan kita.
Ketiga, factor kerentanan ekonomi. Sebagian besar perempuan tidak memiliki penghasilan sendiri. Laki-laki dikonstruksikan sebagai pencari nafkah utama. Sehingga perempuan secara ekonomi tegantung dengan pasangannya. Perempuan juga mengalami kesulitan dalam mendapatkan modal atau kredit usaha. Kondisi kemiskinan mendorong perempuan terjebak menjadi pekerja seks, korban perdagangan, dan perempuan yang dilacurkan. Di dalam industri seks, para pelaku usaha menuntut pekerja seks berasal dari kelompok perempuan muda ?remaja- agar harganya meningkat. Para pekerja seks seringkali mendapat kekerasan seksual yang dilakukan oleh para pelanggan, para preman, atau penegak hukum. Tentu kondisi semacam ini menggiring perempuan atau remaja putri rentan terinfeksi HIV-AIDS. Dan salah satu kelompok resiko tinggi adalah perempuan pekerja seks.
Kesimpulan
Epidemi HIV-AIDS di Indonesia sudah berada pada kondisi yang serius dan menghawatirkan. Penyebarannya sudah menyebar ke seluruh kelompok masyarakat, tidak saja pada kelompok resiko tinggi, tetapi juga berisiko bagi kita semua. Kelompok remajapun telah menjadi kelompok rentan terhadap epidemic HIV-AIDS. Selama ini, kita tidak menyangka bahwa HIV-AIDS juga menyerang pada kelompok remaja. Pemahaman yang salah terhadap HIV-AIDS akan mendorong cara pencegahannyapun tidak efektif. Oleh karena itu, kita perlu merubah paradigma kita dalam melihat HIV-AIDS yang dipenuhi stigma memojokkan dan menghinakan.
Sudah saatnya, kita perlu memperhatikan hak-hak kesehatan bagi remaja, yang selama ini terabaikan. Masalah ini pula tidak bisa lepas dari masalah gender. Mengingat kelompok yang rentan adalah remaja putri. Untuk itu, perlu diupayakan langkah-langkah dalam pencegahan dan penyelamatan pada generasi muda dari HIV-AIDS. Yakni, pertama, strategi pemberdayaan bagi remaja sebagai upaya meningkatkan kepercayaan dirinya dan rasa harga diri. Diharapkan remaja dapat bersikap asertif untuk mengatakan tidak terhadap hubungan seksual di luar nikah atau dengan bukan pasangan resminya (status menikah). Remaja harus berani mengatakan tidak untuk penggunaan narkoba. Kedua, perlunya informasi dan pendidikan bagi remaja, khususnya remaja putri. Mengingat posisi perempuan selama ini yang terpinggirkan terhadap akses informasi. Ketiga, ,mendorong remaja putra untuk meningkatkan tanggung jawab yang lebih besar dalam berelasi dengan perempuan. Keempat, meningkatkan pelayanan kesehatan bagi remaja. Termasuk konseling kesehatan produksi untuk melindungi tubuhnya. Upaya ini perlu dukungan dari keluarga, sekolah, masyarakat, dan pemerintah dalam melindungi remaja kita dari infeksi HIV-AIDS.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
There are some natural remedies that can be used in the prevention and eliminate diabetes totally. However, the single most important aspect of a diabetes control plan is adopting a wholesome life style Inner Peace, Nutritious and Healthy Diet, and Regular Physical Exercise. A state of inner peace and self-contentment is essential to enjoying a good physical health and over all well-being. The inner peace and self contentment is a just a state of mind.People with diabetes diseases often use complementary and alternative medicine. I diagnosed diabetes in 2000. Was at work feeling unusually tired and sleepy. I borrowed a glucometer from a co-worker and tested at 760. Went immediately to my doctor and he gave me prescription like: Insulin ,Sulfonamides, but I could not get the cure rather to reduce the pain and brink back the pain again. I found a woman testimony name Comfort online how Dr Akhigbe cure her HIV and I also contacted the doctor and after I took his medication as instructed, I am now completely free from diabetes by doctor Akhigbe herbal medicine.So diabetes patients reading this testimony to contact his email drrealakhigbe@gmail.com or his Number +2348142454860 He also use his herbal herbs to diseases like:SPIDER BITE, SCHIZOPHRENIA, LUPUS,EXTERNAL INFECTION, COMMON COLD, JOINT PAIN, BODY PAIN, EPILEPSY,STROKE,TUBERCULOSIS ,STOMACH DISEASE. ECZEMA, PROGERIA, EATING DISORDER, LOWER RESPIRATORY INFECTION, DIABETICS,HERPES,HIV/AIDS, ;ALS, CANCER , MENINGITIS,HEPATITIS A AND B, THYROID, ASTHMA, HEART DISEASE, CHRONIC DISEASE. AUTISM, NAUSEA VOMITING OR DIARRHEA,KIDNEY DISEASE, WEAK ERECTION. EYE TWITCHING PAINFUL OR IRREGULAR MENSTRUATION.Dr Akhigbe is a good man and he heal any body that come to him. here is email drrealakhigbe@gmail.com and his Number +2349010754824
BalasHapus