MAJALAH Time edisi Asia tanggal 4 Februari 2002 menurunkan laporan utama berjudul Perbudakan Anak. Di seluruh Asia, puluhan ribu anak-anak dari keluarga miskin dijual ke perbudakan, menjadi anak yang dilacurkan, pembantu atau buruh kasar. Anak, harta paling berhaga dari setiap keluarga terpaksa "dilego" karena kemiskinan yang melilit.
Majalah Time tadi berhasil melakukan investigasi praktik perdagangan anak di Thailand Utara untuk pelacuran. Korbannya terutama adalah anak-anak suku pegunungan atau dari Burma (Myanmar). Ada pula laporan tentang anak-anak yang dipekerjakan di jermal-jermal Sumatera Utara atau pembantu rumah tangga di India.
Khusus tentang pelacuran anak, sebenarnya sudah makin banyak aktivis yang mengangkat isu ini. Ron O'Grady, misalnya, menulis buku Child and the Tourist menyebut pelacuran anak di Asia sebagai bentuk perbudakan modern. Ia kemudian mendirikan ECPAT (End Child Prostitution in Asian Tourism) yang berpusat di Bangkok. ECPAT kemudian meluas ke seluruh dunia dan menjadi penyelenggara Kongres Internasional Eksploitasi Seksual terhadap Anak-anak di Stockholm tahun 1996 dan Yokohama akhir tahun 2001.
Bagaimana dengan pelacuran anak dan remaja di Indonesia?
Sebuah penelitian mengungkap fakta bahwa jumlah anak dan remaja yang terjebak di dunia prostitusi di Indonesia semakin meningkat dalam empat tahun terakhir ini, terutama semenjak krisis moneter terjadi. Setiap tahun sejak terjadinya krismon, sekitar 150.000 anak di bawah usia 18 tahun menjadi pekerja seks. Sementara itu, menurut seorang ahli, setengah dari pekerja seks di Indonesia berusia di bawah 18 tahun sedangkan 50.000 di antaranya belum mencapai usia 16 tahun.
Curhat kali ini membahas masalah prostitusi di kalangan remaja agar kita semua membuka mata dan melihat kenyataan ini sehingga dapat waspada dan tidak sampai tercebur di dunia prostitusi.
Alasan-alasan mengapa seorang remaja bisa terjerumus ke dalam dunia prostitusi juga sangat kompleks, karena menyangkut masalah sosial, ekonomi, pendidikan, angka putus sekolah, kesehatan (terutama menyangkut ketergantungan Napza) tidak saja dari pihak si remaja tadi melainkan juga keluarga dan seluruh masyarakat di sekelilingnya. Banyak dari mereka yang nekat menjadi pekerja seks karena frustrasi setelah harapannya untuk mendapatkan kasih sayang di keluarganya tidak terpenuhi. Sebagian datang dari keluarga broken home, sebagian ada yang pernah mengalami kekerasan seksual dari pacar atau anggota keluarganya sendiri seperti paman atau bahkan ayahnya.
Selain itu, peran media massa juga tidak dapat diabaikan. Liputan, tayangan film yang menampilkan adegan seks dan pornografi, serta perkembangan dunia mode dan fashion juga antara lain membuat para remaja (terutama perempuan) makin menyadari potensi seksual dan sensualitasnya serta bagaimana menggunakan potensi itu untuk memperoleh uang agar dapat mengikuti pola hidup konsumerisme yang sudah menjangkiti masyarakat.
Apa pun alasan seorang remaja terjun di dunia prostitusi, karakteristik pekerjaan yang harus dilakukan oleh pekerja seks membuat prostitusi menjadi pekerjaan yang berisiko tinggi. Dalam melakukan pekerjaannya, mereka berganti-ganti pasangan dan melakukan hubungan seksual dengan banyak orang. Di antara pelanggan yang datang dan pergi itu tentunya juga terdapat berbagai karakter manusia: ada yang lembut, ada yang kasar, ada yang sehat, ada pula yang berpenyakit menular, yang jujur, dan yang menipu.
Dari pelanggan yang banyak dan beragam itulah, risiko yang dihadapi seorang pekerja seks juga banyak dan beragam. Dari pelanggan yang penipu, mungkin saja ia tidak dibayar oleh pelanggan setelah melakukan aktivitas seksual. Apabila tidak menggunakan alat kontrasepsi, pekerja seks juga berisiko mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. Selain itu, posisi tawar yang lemah di pihak pekerja seks juga membuat mereka sering tidak berhasil membujuk pelanggannya untuk menggunakan proteksi/kondom. Akibatnya, dari pelanggan yang mengidap penyakit menular seksual (PMS), atau bahkan HIV/AIDS, pekerja seks tadi dapat tertular tanpa mampu melindungi tubuhnya. Apalagi ada mitos, karena risiko tertular HIV lebih besar jika berhubungan dengan pekerja seks dewasa, maka kaum pria hidung belang memburu anak-anak. Banyak jenis PMS yang tidak dapat dengan mudah disembuhkan, atau bahkan menimbulkan kematian kalau tidak ditangani serius. Selain itu, beberapa penyakit juga dapat merusak organ reproduksi secara permanen.
Risiko berat lain yang seringkali harus dihadapi remaja sebagai pekerja seks adalah kekerasan seksual yang dilakukan oleh pelanggan yang bisa jadi sampai mengancam nyawanya. Tidak jarang, pelanggan yang datang juga menginginkan bentuk hubungan seks yang tidak wajar, bahkan ada yang suka merekam aktivitas seksual mereka dengan kamera video.
Selain risiko karena karekteristik pekerjaannya sendiri, masih ada risiko lain. Prostitusi juga bukan dunia yang mudah ditinggalkan. Sekali kita tercebur, perlu usaha ekstra keras untuk berhenti. Banyak remaja, terutama di kalangan anak sekolah atau kuliah yang terjun ke dunia prostitusi memang tidak berniat untuk menjadikan prostitusi sebagai pekerjaan utamanya. Mereka berpikir, mereka hanya akan menjadi pekerja seks sementara saja. Dalam beberapa tahun ke depan mereka akan berhenti dan beralih profesi. Ternyata masalahnya tidak semudah itu. Apabila aktivitasnya sebagai pekerja seks ini diketahui oleh keluarganya (apalagi, misalnya, salah satu pelanggan merekam adegan seks mereka kemudian mengedarkannya), maka besar kemungkinan mereka tidak mau menerimanya kembali. Belum lagi teman-teman dan lingkungan masyarakat yang seringkali sangat judgemental atau bersikap menghakimi. Hal ini membuat mereka merasa lebih baik terus bekerja sebagai pekerja seks. Lama kelamaan, pilihan untuk bekerja si bidang lain akan tertutup.
Profesi sebagai pekerja seks tidak dipandang sebagai profesi yang terhormat oleh masyarakat. Memang di kalangan masyarakat luas sendiri terdapat semacam dualisme dalam menyikapi masalah prostitusi. Di satu pihak, demand atau permintaan terhadap pekerja seks remaja juga tetap tinggi dan banyak yang bersedia membayar pekerja seks remaja lebih mahal dibanding yang sudah berumur. Namun, di pihak lain, walaupun saat ini sebagian kecil masyarakat sudah mulai melihat para pekerja seks sebagai korban dan berusaha untuk menawarkan program-program pengentasan untuk menolong mereka, sebagian besar lain dari masyarakat masih terus mengutuk dan mengucilkan para pekerja seks, menganggap mereka sampah masyarakat. Bahkan ketika mereka ingin beralih profesi ke bidang lain yang dipandang bermartabat oleh lingkungannya, masyarakat tidak begitu saja menerima mereka. Hal ini mengakibatkan para pekerja seks mengalami kesulitan untuk alih profesi ke bidang lain.
Kalau dari tadi yang kita bahas adalah risiko bagi pihak perempuan, hal ini karena dalam dunia prostitusi memang lebih banyak perempuan yang bekerja sebagai pekerja seks dibanding laki-laki. Cowok yang menjadi pekerja seks biasanya melayani pelanggan homoseksual, walaupun belum tentu cowok tadi homoseksual juga. Sedangkan pekerja seks pria yang melayani pelanggan wanita sangat jarang.
Data yang pasti mengenai pekerja seks di bawah umur sangat sulit untuk diperoleh.
Pertama, karena biasanya pekerja seks tersebut diberi atau menggunakan identitas palsu di mana umur dan fotonya dibuat supaya terlihat lebih tua.
Kedua, hampir tidak ada keluhan baik dari pelanggan maupun para pekerja seks itu sendiri menyangkut aktivitas seksual yang dilakukan.
Ketiga, mobilitas para pekerja seks itu sendiri juga begitu tinggi sehingga mempersulit pelacakan.
Sulitnya memperoleh data itu membuat masalah ini tidak mendapat perhatian yang cukup, dan berdampak pada tidak jelasnya perlindungan yang (seharusnya) diberikan oleh pemerintah bagi para pekerja seks, terutama pekerja seks di bawah umur.
Dari risiko pekerjaan, hubungan dengan masyarakat dan minimnya perlindungan yang diberikan, kita tahu bahwa prostitusi bukanlah lapangan pekerjaan yang mudah dan menyenangkan. Mengenai penghasilan, benarkah prostitusi menjanjikan kekayaan? Ternyata tidak serta merta demikian. Dari jumlah yang dibayar oleh pelanggan, tidak semuanya bisa dimiliki oleh pekerja seks, khususnya pekerja yang tergantung pada pihak perantara. Ia harus membaginya dengan mucikari, perantara yang mengatur pertemuan antara pekerja seks dengan pelanggannya, atau germo, si pemilik rumah pelacuran. Bahkan pekerja seks independen yang tidak tergantung pada jasa perantara juga tidak bisa menikmati hasil keringatnya 100 persen. Dengan pekerjaan yang sangat berisiko terhadap kesehatannya, seringkali mereka harus mengeluarkan banyak uang untuk berobat memulihkan kesehatannya.
Oleh karena itulah, banyak perempuan baik remaja maupun dewasa yang sudah telanjur tercebur di dunia prostitusi merasa tidak ingin bertahan dan ingin keluar dari dunia yang digelutinya itu. Walaupun sangat sulit karena banyak godaan untuk kembali (antara lain karena sudah menyandang stigma tertentu di mata masyarakat sehingga sulit memperoleh pekerjaan baru), ada juga yang berhasil "keluar" dan beralih profesi ke bidang lain yang lebih sehat dan memiliki masa depan yang lebih cerah. Beberapa dari mereka bahkan kemudian aktif menjadi relawan untuk membantu teman-temannya yang ingin mentas dari dunia prostitusi, dan juga membagi pengalamannya kepada remaja lain agar tidak sampai mengalami kehidupan pahit yang telah mereka rasakan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar