Minggu, 17 Mei 2009

Kenakalan Remaja dan Peran Orang Tua


Ironis memang, seorang remaja yang semestinya masih memiliki kesempatan luas untuk mengenyam pendidikan di sekolah, terpaksa harus berhenti di tengah jalan karena salah pergaulan. Kasus yang dialami siswi SMU di Pasuruan itu bisa menjadi bukti bahwa kenakalan remaja tidak hanya didominasi oleh anak-anak yang broken home, tetapi bisa menjebak siapa saja. Pengaruh televisi, internet, dan handphone selama ini disebut-sebut sebagai pemicu maraknya kenakalan remaja.

Namun perlu disadari juga bahwa kenakalan remaja tidak semata-mata karena pengaruh berbagai media tersebut. Ada faktor lain yang juga sangat berpengaruh terhadap perilaku anak, yakni hubungan komunikasi antara anak dan orang tua atau keluarganya. Hubungan ini tidak lepas dari bagaimana pola didik yang diterapkan oleh orang tua terhadap anaknya, dan seperti apa komunikasi yang terjalin di antara mereka.

Di zaman sekarang, sebagian besar orang tua cenderung menyerahkan urusan pendidikan anak pada institusi yang dinamai sekolahan. Bahkan dari usia dini pun si anak sudah dipasrahkan pengasuhan dan pendidikannya di play group dan sejenisnya. Tujuannya agar mereka mendapat pendidikan yang lebih baik dan nantinya menjadi anak pintar. Banyak alasan mengapa orang tua sekarang lebih memilih memasukkan anak-anak mereka di institusi pendidikan sejak dini, daripada mendidiknya sendiri di rumah. Di antaranya, alasannya kesibukan orang tua sehingga merasa tak punya cukup waktu untuk mendidik anak di rumah. Namun ada juga yang berpikir praktis, orang tua yang merasa tidak mampu mendidik anaknya sendiri sehingga dipasrahkan pada para tenaga pendidik yang lebih profesional. alasan lainnya, orang tua ingin memberikan pendidikan yang terbaik bagi putra-putrinya.

Alasan-alasan tersebut memang tidak salah, sebab pada hakikatnya tidak ada orang tua yang menginginkan anaknya tidak pandai. Melalui pendidikan di bangku sekolah, para orang tua berharap nantinya putra-putri mereka menjadi anak yang pintar dan sukses. Hanya saja, terkadang para orang tua kurang menyadari bahwa pendidikan di sekolah saja belum cukup untuk menjadikan anak baik, baik secara personal maupun sosial. Selama ini yang terjadi, kenakalan remaja terjadi bukan karena mereka tidak berpindidikan, tetapi lebih karena kurangnya perhatian dan komunikasi dengan orang tua atau keluarganya. Kesibukan orang tua mempersempit ruang komunikasinya dengan anak-anak.

Di samping itu, perhatian terhadap anak juga cenderung diabaikan. “Toh mereka sudah belajar di sekolah, dan kebutuhan mereka juga tercukupi dari hasil kerja orang tua. Perhatian apa lagi?” Padahal anak-anak butuh pendampingan dalam menghadapi setiap permasalahan yang dihadapinya. Mereka butuh “ilmu tambahan” dari para orang tua, di luar pelajaran yang diterima di kelasnya. Misalnya, pendidikan budi pekerti, belajar bersosialisasi dengan lingkungan di sekitarnya, belajar memecahkan permasalahan melalui sharring dengan orang-orang terdekatnya, dan masih banyak hal lainnya, yang tidak mereka dapatkan di sekolah. Kurangnya komunikasi antara anak dan orang tuanya juga sering menimbulkan percikan konflik yang berawal dari kesalahpahaman. Jika sudah demikian, biasanya anak akan mencari ‘sandaran’ pada teman-teman yang dianggapnya bisa menjadi curahan hati, atau pun senasib dengannya. Minimnya pengetahuan anak bagaimana membangun interaksi sosial yang baik sering membuat anak terjerumus dalam pergaulan yang salah. Tak heran jika akhirnya banyak remaja yang menjadi korban salah pergaulan.

Orang Tua selalu Benar?

Di masyarakat kita, kebanyakan orang tua masih menganggap anak yang nakal itu salah, tanpa melihat latar belakang dari kenakalan itu sendiri. Padahal, anak nakal itu umumnya karena mereka butuh perhatian lebih dari orang-orang di sekitarnya. Dangan kata lain, mereka merasa kurang mendapatkan perhatian. Jadi tidak selalu benar bahwa anak nakal itu salah. Dalam hal ini, orang tua dituntut mampu menangkap “sinyal-sinyal” semacam itu, dengan lebih berperan aktif dalam memerhatikan putra-putrinya.

Mau tidak mau orang tua harus menyadari bahwa kesalahan tidak selalu pada anak, tetapi sedikit banyak juga ada andil dari kesalahan orang tua dalam mendidik mereka. Memberi ruang bagi anak untuk membangun komunikasi yang baik dan intens dengan orang tua, melalui diskusi bersama keluarga dalam hal-hal ‘kecil’ maupun saat menghadapi masalah, bisa menjadi langkah antisipatif untuk menghindari kenakalan temaja. Penanaman sikap “berani berbuat, berani bertanggung jawab” juga akan membuat anak bertindak secara rasional, dan tidak mudah terjebak pada hal-hal yang merugikan dirinya dan orang lain.

Jika memang terlanjur berbuat salah, maka tekankan pada anak untuk bisa belajar dari kesalahannya sehingga ke depannya kesalahan itu tidak terulang lagi. Kita harus ingat bahwa orang yang baik bukan orang yang tidak bersalah, melainkan orang yang berani bertanggung-jawab atas kesalahannya dan berusaha untuk tidak melakukan kesalahan yang sama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar